Sistem Pewarisan pada Masyarakat Rejang di Bengkulu
1. Harta-Waris
Pada masyarakat yang berada di suatu daerah, terutama yang telah dipengaruhi Islam atau yang telah memeluk agama Islam, pada umumnya memiliki sistem hukum-waris yang mengacu kepada agamanya. Namun karena setiap daerah juga mempunyai kebudayaan yang mereka tumbuh-kembangkan sendiri, maka sistem hukum-warisnya pun berbeda-beda. Masyarakat Melayu yang sebagian besar beragama Islam mempunyai sistem pewarisan yang dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu:
(1) sistem pewarisan yang berdasarkan hukum Islam;
(2) sistem pewarisan yang berdasarkan hukum adat setempat; dan
(3) sistem pewarisan yang berasal dari proses akulturasi antara hukum Islam dan hukum adat setempat. Dalam sebuah keluarga Melayu, baik yang mempunyai keturunan maupun tidak, pada akhirnya dihadapkan pada persoalan harta-benda yang dimilikinya (harta-waris), baik karena kematian orang tua (bapak, ibu, kakek, nenek), maupun karena perceraian.
Sistem pewarisan pada masyarakat Rejang[1] yang tinggal di Provinsi Bengkulu dalam tulisan ini menyangkut masalah benda warisan, pewaris atau ahli waris dan norma-norma adat yang mengatur pembagian warisan. Masyarakat Rejang membedakan hak-waris ke dalam dua kategori, yakni: hak sorang dan hak suwarang. Sistem pewarisan kedua hak-waris tersebut adalah sebagai berikut.
Harta-waris yang disebut sebagai hak sorang adalah harta benda seorang laki-laki atau perempuan sebelum ia kawin, baik berupa hasil jerih payahnya sendiri maupun berupa pemberian atau peninggalan orang tua yang diturunkan (diberikan) kepadanya. Demikian seterusnya.
Harta-waris yang disebut sebagai hak suwarang adalah harta benda yang berasal dari hasil jerih payah suami isteri sesudah mereka kawin. Meskipun harta benda yang dimiliki berasal dari hak sorang, apabila telah kawin hasilnya menjadi milik bersama atau menjadi hak suwarang. Misalnya, sawah dan atau ladang bawaan adalah hak sorang, tetapi hasil dari jerih payah mereka menggarapnya adalah hak suwarang.
2. Sistem Pewarisan
Apabila terjadi perceraian hidup (soak) dan tanpa dikaruniai anak, maka hak sorang akan diambil orang masing-masing pihak dan hak suwarang akan dibagi sama rata. Namun, apabila salah satu meninggal dunia, maka hak sorang dan hak suwarang tersebut akan dikembalikan kepada keluarganya. Dalam pembagian tersebut berlaku ketentuan adat yaitu, hak sorang berpulang dan hak suwarang berbagi. Makna dari pepatah ini adalah harta yang menjadi hak sorang akan dikembalikan pada masing-masing pihak, sedangkan harta yang didapatkan ketika sudah menikah akan dibagi sama banyak antara suami dan isteri. Pepatah di atas memang berlaku tetapi dalam beberapa hal saja, misalnya bagi suami-isteri yang setelah menikah memilih adat menetap menurut asen semendo rajo-rajo[2].
Apabila keduanya masih hidup dan kemudian bercerai tetapi telah memiliki anak, maka hak sorang dan hak suwarang yang diambil tersebut nantinya akan diserahkan kepada anak-anaknya. Namun apabila perceraian terjadi karena salah seorang meninggal dunia, maka hak sorang jatuh kepada anak, dan hak suwarang dikuasai oleh yang masih hidup. Harta peninggalan baik yang berasal dari sorang maupun suwarang lama-kelamaan akan menjadi harta pusaka, dan apabila kedua orang tua telah meninggal, maka harta pusaka tersebut dibagi ke seluruh ahli warisnya (anak, orang tua, cucu, saudara kandung, saudara ayah dan ibu dan saudara sepupu).
3. Hukum Waris
Pembagian harta-waris pada masyarakat Rejang sangat erat kaitannya dengan sistem yang digunakan untuk menentukan jumlah warisan yang diterima seorang pewaris. Ada dua sistem yang berkenaan dengan pembagian harta-waris, yaitu agiak lai dan agiak titik. Agiak lai (pembagian besar) diterima oleh anak-anak pewaris, sedangkan agiak titik (pembagian kecil) diterima oleh cucu-cucunya. Misalnya, ada harta pusaka yang dipelihara bersama berupa pohon buah-buahan dan tebat (kolam) ikan. Hasilnya dibagi rata dahulu sebelum diserahkan kepada ahli waris pertama yang setingkat (anak-anaknya). Dalam pembagian tersebut, baik ahli waris laki-laki maupun perempuan akan mendapat jumlah bagian yang sama banyaknya. Ini artinya, sistem pembagian harta-waris pada masyarakat Rejang tidak mengenal adanya perbedaan gender. Sedangkan apabila salah satu ahli waris itu telah meninggal pula dan ia mempunyai anak, maka anak-anaknya berbagi lagi dari bagian orang tua mereka. Pembagian inilah yang disebut agiak titik atau pembagian kecil.
Sebagai catatan, menurut adat yang berlaku, urut-urutan pembagian harta-waris apabila seseorang meninggal, ahli waris yang pertama adalah suami atau isteri kemudian baru anak-anak. Jika tidak mempunyai anak dan isteri lagi dan masih mempunyai orang tua maka hak waris jatuh kepada orang tua, dan bila orang tua pun tiada lagi, maka hak waris jatuh kepada saudara sekandung yang tinggal dalam lingkungan keluarga asalnya. Apabila saudara sekandung pun juga sudah tidak ada lagi, maka harta warisan akan jatuh pada saudara ayah atau ibu dan saudara sepupu. Namun di dalam prakteknya harta warisan ini tidak pernah dibagi sebegitu jauh, sebab biasanya hanya sampai pada suami atau isteri, anak, orang tua, cucu dan saudara kandung.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum waris yang dianut oleh masyarakat Rejang adalah hukum adat yang mereka tumbuh-kembangkan. (AG/bdy/53/8-07)
Sumber :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1979. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Bengkulu. Bengkulu: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
http://www.tamanmini.com
http://www.wikipedia.org
[1] Suku bangsa Rejang adalah salah satu etnik tertua di Pulau Sumatera. Etnik ini sebagian besar berada di Provinsi Bengkulu, khususnya di Kabupaten Bengkulu Utara, Lebong dan Rejang Lebong. (www.wikipedia.org)
[2] Semendo rajo-rajo adalah adat menetap sesudah menikah yang boleh memilih untuk tinggal di keluarga suami atau isteri atau kedua-duanya (bilokal). Adat ini biasanya ditetapkan sebelum perkawinan dilaksanakan. Selain adat semendo rajo-rajo, terdapat dua adat lain sesudah menikah, yaitu asen beleket dan asen semendo. Asen beleket adalah adat menetap sesudah menikah di keluarga suami (patrilokal), sedangkan asen semendo adalah adat menetap sesudah menikah di keluarga isteri (matrilokal).
(www.tamanmini.com)
http://culture.melayuonline.com/?a=b1RUei9zVEkvUXZ5bEpwRnNx=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar