Bagi suku Rejang perkawinan mempunyai beberapa tujuan. Tujuan suatu perkawinan adalah :
- a. untuk mendapatkan teman hidup dan memperoleh keturunan, yang disebut Mesoa Kuat Temuun Juei;
- b. untuk memenuhi kebutuhan biologis, hal dimaksudkan agar kaum muda dapat terhindar dari perbuatan tercela;
- c. memperoleh status sosial ekonomi. Bagi suku Rejang bujang dan gadis belum merupakan orang kaya ( coa ade kayo ne) oleh karena itu mereka harus kawin, setelah kawin mereka akan bekerjasama untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan memupuk kekayaan bagi keluarga mereka sendiri.
Sedangkan bagi kaum laki-laki, syarat-syarat yang harus dipenuhi menunjukkan bahwa ia adalah orang yang berilmu-pengetahuan dan berketerampilan. Syarat-syarat bagi laki-laki tersebut antara lain adalah : banyak ilmu batin dan pandai bersilat; pandai menebas dan menebang kayu; pandai membuat alat senjata dan alat-alat untuk bekerja. Selain itu dalam adat suku Rejang juga diatur larangan untuk kawin bagi anggota suku tersebut. Secara adat, orang Rejang dilarang kawin dengan saudara dekat, sebaiknya perkawinan itu dilakukan dengan orang lain (mok tun luyen). Perkawinan dengan saudara dekat dianggap merupakan suatu perkawinan sumbang, yang mereka sebut Kimok (memalukan/menggelikan). Perkawinan dengan sesama famili disebut kawin Sepasuak dan perkawinan dengan saudara yang berasal dari moyang bersaudara (semining) disebut Mecuak Kulak. Perkawinan Sepasuak dan Mecuak Kulak ini merupakan perkawinan yang dilarang, namun demikian apabila tidak dapat dihindarkan maka mereka yang kawin didenda secara adat berupa hewan peliharaan atau uang, denda seperti ini disebut Mecuak Kobon. Jenis perkawinan lainnya yang dilarang secara adat adalah perkawinan antara seorang pria atau wanita dengan bekas isteri atau suami dari saudaranya sendiri, apabila saudaranya tersebut masih hidup. Bentuk-bentuk perkawinan dalam adat suku Rejang berhubungan erat dengan peristiwa atau kejadian sebelum perkawinan tersebut dilaksanakan. Bentuk-bentuk perkawinan tersebut adalah : a. Perkawinan biasa, yakni perkawinan antara pria dan wanita yang didahului dengan acara beasen (bermufakat) antara kedua belah pihak. b. Perkawinan sumbang, yakni perkawinan yang dianggap memalukan. Misalnya karena sang gadis telah berbuat hal-hal yang memalukan (komok) sehingga menimbulkan celaan dari masyarakat atau perkawinan yang dilakukan oleh sesama saudara dekat. c. Perkawinan ganti tikar (Mengebalau), yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki yang isterinya telah meninggal dengan saudara perempuan isterinya, atau dengan perempuan yang berasal dari lingkungan keluarga isterinya yang telah meninggal tersebut.
Upacara perkawinan dalam adat suku rejang mencakup tiga kegiatan pokok, yaitu upacara sebelum perkawinan, upacara pelaksanaan perkawinan dan upacara setelah perkawinan. Oleh sebab itu, perkawinan dalam suku Rejang terdiri dari :
a. Upacara sebelum perkawinan, yang terdiri dari : - 1) Meletak Uang, yaitu upacara pemberian uang atau barang emas yang dilakukan oleh kedua calon mempelai di rumah si gadis, dengan disaksikan oleh keluarga kedua belah pihak. Maksud upacara ini adalah memberi tanda ikatan bahwa bujang dan gadis tersebut sudah sepakat untuk menikah.
- 2) Mengasen, yaitu meminang yang dilakukan di rumah keluarga si gadis.
- 3) Jemejai atau Semakup Asen, yaitu upacara terakhir dalam peminangan yang merupakan pembulatan kemufakatan antara kedua belah pihak. Tujuan upacara ini adalah untuk : meresmikan atau mengumumkan kepada masyarakat bahwa bujang dan gadis tersebut telah bertunangan dan akan segera menikah; mengantar uang antaran (mas kawin), dan menyampaikan kepada Ketua Adat mengenai kedudukan kedua mempelai itu nantinya setelah menikah.
- 1) Mengembalikan alat-alat yang dipinjam dari anggota dan masyarakat dusun.
- 2) Pengantin mandi-mandian, melambangkan mandi terakhir bagi kedua mempelai dalam statusnya sebagai bujang (jejaka) dan gadis.
- 3) Doa selamat.
- 4) Cemucu Bioa, yaitu berziarah ke makam-makam para leluhur.
- d. Adat Menetap Sesudah Perkawinan.
Apabila akad nikah dan upacara perkawinan telah dilakukan, maka kedua mempelai itu telah terikat oleh norma adat yang berlaku. Kebebasan bergaul seperti pada masa bujang dan gadis hilang, dan berganti ke dalam ikatan keluarga di mana mereka bertempat tinggal. Status tempat tinggal (Duduk Letok) mereka ditentukan oleh hasil permufakatan yang telah diputuskan dalam upacara Asen. Bagi suku bangsa Rejang ada dua macam Asen, yakni Asen Beleket dan Asen Semendo. Asen Beleket artinya mempelai perempuan masuk ke dalam keluarga pihak laki-laki, baik tempat tinggalnya maupun sistem kekerabatannya. Asen Beleket dibedakan lagi dalam dua macam Asen, yaitu Leket Putus dan Leket Coa Putus (tidak putus). Pada Leket Putus, hubungan mempelai perempuan dengan pihak keluarganya diputuskan sama sekali. mempelai perempuan tersebut sepenuhnya menjadi hak keluarga pihak laki-laki. Apabila suaminya meninggal terlebih dahulu, maka perempuan tersebut tetap tinggal di lingkungan keluarga suaminya. Biasanya ia dinikahkan dengan saudara suaminya atau sanak saudara suaminya yang lain, tanpa membayar uang apa-apa dan ia tidak boleh menolak. Pada Leket Coa Putus hubungan mempelai perempuan dengan keluarganya tidak terputus sama sekali. Pada Asen Semendo terdapat banyak variasi. Pada mulanya Asen Semendo merupakan lawan atau kebalikan dari Asen Beleket, yakni :
- 1) Semendo Nyep Coa Binggur (hilang tidak terbatas), mempelai laki-laki masuk dan menjadi hak pihak keluarga perempuan sepenuhnya.
- 2) Semendo Nyep/Tunakep (menangkap burung sedang terbang), mempelai laki-laki dianggap oleh keluarga pihak perempuan sebagai seorang yang datang tidak membawa apa-apa. Jika terjadi perceraian atau laki-laki tersebut meninggal terlebih dahulu maka semua hak warisnya jatuh kepada isterinya.
- 3) Semendo Sementoro/Benggen (berbatas waktu), mempelai laki-laki pada awal kehidupan berkeluarga harus tinggal dalam lingkungan keluarga pihak mempelai perempuan, setelah itu dia bersama isterinya dapat tinggal dalam lingkungan keluarga asalnya atau membentuk lingkungan keluarganya sendiri.
- 4) Semendo Rajo-Rajo, yaitu apabila kedua mempelai berasal dari dua keluarga yang sama kuat atau sederajat. Kedudukan dan tempat tinggal kedua mempelai setelah perkawinan diserahkan sepenuhnya kepada kedua mempelai untuk memutuskannya.
Credit photo : Bpk. Ade Bachtiar
source : rejang-lebong.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar