Serambeak: Sastra Lisan Suku Rejang yang Nyaris Punah
Nopember 9, 2007 oleh lebong
Suku Rejang, yang dikenal sebagai satu di antara sedikit suku asli penduduk Bengkulu, memiliki budaya yang beragam. Ragam budaya itu meliputi tulisan, adat istiadat, hukum adat, kesenian, dan sastra. Khusus untuk sastra lisan, suku ini juga memiliki berbagai macam jenis sastra, antara lain Nandei, Geritan, Berdai, Pantun, Syair, Sambei, dan Serambeak. Jenis sastra yang disebut terakhir inilah yang lebih populer digunakan sehari-hari — baik oleh orangtua, remaja, dan anak-anak — dalam berinteraksi.
Kekayaan budaya suku Rejang, dalam pandangan seorang pemerhati masalah budaya di Bengkulu, Drs Tommy Suhaimi MSi, direfleksikan dengan banyaknya orang asing serta pejabat pemerintahan di zaman Belanda dan Inggris yang menulis dokumen tentang suku-bangsa ini. Setiap kali akan mengakhiri jabatannya di wilayah yang didiami suku Rejang, pejabat penjajahan di masa lalu itu selalu menyempatkan untuk menulis dokumen tentang suku Rejang dalam bentuk pidato pertanggungjawabannya. Dokumen ini di kemudian hari menjadi bahan kajian bagi pejabat berikutnya.
Serambeak sendiri bisa diartikan sebagai pengungkapan cetusan hati nurani dengan menggunakan bahasa yang halus, indah, berirama, dan banyak menggunakan kata-kata kiasan. Menurut Tommy, yang kini menjabat Kepala bagian Humas Pemda Kodia Bengkulu, serambeak dipakai dalam bidang yang cukup luas oleh suku Rejang. Dalam kehidupan sehari-hari — waktu bermusyawarah maupun mengobrol biasa — sering disisipkan serambeak di tengah pembicaraan. Begitu juga ketika menyambut tamu yang dihormati, serta dalam rangkaian kegiatan perkawinan, dalam pergaulan muda-mudi, dan lain-lain.
Salah satu contoh serambeak yang umum adalah:
Indo ro dep i’o ba taai, ne,
Indoro gung i’o ba keliuk ne
(Bagaimana bunyi rebab begitulah tarinya,
bagaimana bunyi gong begitulah lenggangnya).
Maksud serambeak ini adalah bahwa sesuatu tindakan atau kegiatan seseorang hendaklah sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Serambeak juga biasa digunakan saat seseorang menasehati orang lainnya agar menyesuaikan diri dengan lingkungan baru serta bergaul dengan orang lain. Demikian pula nasehat agar dalam mendidik dan menjaga anak bujang maupun gadis, para orangtua hendaklah hati-hati penuh kearifan dan bijaksana. Nilai agama haruslah ditanamkan sejak kecil.
Bagi suku Rejang, tamu memiliki arti penting yang harus dihormati dan dilayani dengan baik. Oleh sebab itu serambeak khusus untuk tamu juga banyak ragammnya. Di antaranya:
Dio ade iben sapai daet, moi mbuk iben.
Iben ade delambea, gambea ade decaik, pinang ade desisit, rokok ade depun.
Ibennyo iben pena’ak magea suko panggea.
Salang tun dumai belek moi talang.
Salang tun talang belek moi sadei.
Dapet kene ta’ak dengen tawea.
Salang magea mendeak simeak.
Arak suko padaa ngalo.
Arak magea mendeak simeak.
Agang magea suko panggea.
Terjemahannya kira-kira:
Ada sirih terhampai di darat, makanlah sirih. Sirih ada selembar, gambir ada secarik, pinang ada seiris, rokok ada sebatang. Sirih ini sirih penyapa untuk para tamu yang berdatangan. Sirih penyapa bukan karena membuat kesalahan, tidak pula karena membuat yang tidak baik. Sirih penyapa karena kami penuh harap, harap kepada tamu yang datang. Gembira karena memenuhi undangan. Sedangkan orang di ladang pulang ke talang, orang di talang pulang ke dusun. Semuanya diundang, rasa suka dan gembira atas kedatangan tamu semuannya.
Bagi muda-mudi, kesantunan seseorang terucap dari serambeak yang disampaikan. Berikut ini contohnya:
Tun meleu diem puluk kelem.
Tun titik diem beak lekok.
(Orang hitam diam ditempat gelap.
Orang kecil berada di lembah yang dalam).
Serambeak ini bermaksud sebagai sikap merendahkan diri bahwa ia orang yang serba kekurangan dan penuh kelemahan. Pemakainya biasa digunakan oleh remaja waktu pacaran sebagai ungkapan bahwa ia penuh kekurangan.
Contoh serambeak muda-mudi lainnya:
Asai tekecep tebau nak talang.
Asai tekenem bioa nak imbo.
Asai mendaki munggeak mendatea.
(Rasa tercicip tebu di Talang.
Rasa terceminum air digunung.
Rasa lega ketika tiba di tempat datar setelah mendaki tebing yang tinggi).
Serambeak ini bermakna cetusan kegembiraan ketika seseorang mendengar atau mendapatkan sesuatu yang telah lama didambakan. Biasa digunakan oleh muda-mudi ketika mendegar sang pujaan memberikan harapan-harapan yang muluk atau sesuatu yang diinginkan.
Keunikan suku Rejang yang jumlahnya diperkirakan sekitar 900 ribu jiwa — mereka menghuni Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Musi Rawas (Sumsel), dan Kabupaten Lahat (Sumsel) — mampu menarik perhatian peneliti asing. Burhan Firdaus dalam bukunya Bengkulu dalam Sejarah yang diterbitkan oleh Yayasan Seni Budaya Nasional Indonesia 1988, mengungkapkan adanya seorang peneliti dari Australia Prof MA Jaspan dari Australia National University (ANU) yang menetap bersama keluarga setempat tahun 1961-1963 untuk meneliti suku bangsa Rejang.
Jaspan menghasilkan beberapa buku, antara lain From Patriliny to Matriliny, Structural Change Amongst the Redjang of Soutwest Sumatra, Folk Literature of South Sumatra: Redjang Ka-ga-nga Texts, dan The Redjang Village Tribunal. Buku-buku itu sampai kini jadi bahan kajian penting bagi mahasiswa asing yang mengambil studi sejarah budaya Indonesia.
Residen kedua Bengkulu, Prof Dr Hazairin SH, yang oleh pemerintah dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional pada 10 Nopember 1999, mempertahankan disertasi doktornya berjudul De Redjang untuk mendapatkan gelar PhD, dalam bidang hukum adat.
Menurut Ketua Masyarakat Adat Bengkulu Zamhari Amin, serambeak membuktikan bahwa nenek moyang kita dahulu mempunyai budi bahasa, sopan santun, perasaan hati nurani yang halus, dan tatacara pergaulan yang tinggi nilainya. Oleh karena itu, sudah sewajarnya generasi muda sebagai generasi penerus mengadakan penelitian, pengumpulan, guna menggali dan menghidupkan kembali budaya yang tinggi nilainya agar diketahui dan dipelajari oleh khalayak ramai.
Kalangan orangtua yang masih memahami dan menguasai dinamika kebudayaan sukubangsa Rejang, menurut Zamhari, kini sudah semakin berkurang. Mereka pada umumnya tidak meninggalkan bukti tertulis tentang seluk-beluk kebudayaan Rejang.
”Jika kondisi ini terus berlangsung, dalam lima dasawarsa mendatang, tidak hanya serambeak, tapi kebudayaan suku Rejang tidak akan diketahui lagi oleh generasi mudanya. Selain itu, orang Rejang sendiri terdistorsi oleh kebudayaan lain bahkan budaya asing,” ujarnya.
maswandi (republika.co.id)
copy from rejanglebong.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar