ALUR PROSES PERADILAN ADAT CLAN SELUPU LEBONG

Author Erwin S. Basrin

Pada tataran konseptual di tingkat kampung peradilan adat ini mengenal struktur yang telah dibakukan yang lebih menonjolkan asaz musyawarah dalam mencari penyelesain sengketa.

  • · Rajo atau Pelindung Adat sebelum Indonesia Merdeka di kenal dengan Depati kemudian Ginde namun setelah terbitnya UU No 5 Tahun 1979 dinamakan dengan Kepala Desa, namun dalam pelaksanaan peradilan adat Rajo atau Pelindung Adat punya hak suara untuk memberikan beberapa nasehat jika dimintak oleh Ketua Kutai yang juga tidak punya hak dalam memutuskan penyelesaian sengketa.
  • · Ketua Kutai ini dipilih oleh Ketua-ketua Suku atau Sukau yang berasal dari salah satu Sukau yang ada di Kutai tersebut dan jumlah Ketua kutai di masing-masing Kutai (kampung) hanya 1 orang. Dalam penyelesain atau peradilan adat Ketua Kutai ini punya hak untuk mengelar peradilan adat dan memutuskan perkara kasus secara adat dengan dasar hasil musyawarah ke empat Ketua Sukau dengan memperhatikan pertimbangan dari Rajo atau Pelindung Adat, Cerdik Pandai, Alim Ulama serta tetua yang ada di Kutai tersebut.
  • · Ketua Sukau/Clan adalah wakil masing-masing keluarga dalam sturuktur adat yang dipilih oleh masing-masing clan/keluarga berdasarkan beberapa kreteria seperti berilmu, bijaksana dll. Dalam system peradilan adat Ketua Sukau ini sebagai juru runding Sukau dan pembawa kasus persoalan yang dihadapi oleh anak suku atau sukau yang bersangkutan kepada ketua Kutai, sebagai pembela sekaligus memberikan beberapa pertimbangan dalam persidangan adat.

Dalam proses persidangan adat referensi yang dipakai dalam menetapkan sangsi adat adalah pokok adat Rejang yang ditinggalkan (diwariskan - admin) oleh para leluhur secara lisan antara lain:

· ‘Bejenjang kenek betanggo tu’un’ adalah dasar untuk menetapkan besaran sangsi material dengan memperhatikan kondisi ekonomi dan kemampuan terdakwa

· ‘Sumbing titip, kinyem mengelek’ adalah dasar dalam proses peradilan adat bisa untuk menciptakan keseimbangan kembali di tengah-tengah masyarakat

· ‘Semitok buk lem gelpung’ adalah kearifan adat dalam proses penyelesaian sengketa sehingga korban dan pelaku tidak merasa ada yang dirugikan

· ‘Tepung tabea’ bermaksud untuk mendinginkan permasalahan sehingga meredakan konflik atau usaha untuk menciptakan keseimbangan di tingkat kampung sekaligus wujud penyesalan si pelaku terhadap pihak korban. Dan lain-lain

· ‘Membunuh membangun’ artinya kalau membunuh orang hukumannya si pembunuh membayar bangun kepada famili si mati dengan emas atau perak.

· ‘Salah berutang’ artinya setiap kesalahan terpikul oleh yang bersalah sendiri

· ‘Gawal mati’ tiap seorang melakukan kejahatan yang maha besar atau yang dilarang keras oleh adat, dihukum mati (bunuh)

· ‘Melukai menepung’ artinya memberi uang atau emas kepada yang dilukai

· ‘Selang Berpulang’ artinya tiap barang di pinjam dikembalikan

· ‘Suarang baragiak’ artinya harta yang diperoleh bersama-sama dibagi sama banyak

· ‘Buruk puar aling jelupung’ patah tumbuh hilang berganti’ artinya tiap-tiap yang hilang dicari gantinya, mati suami saudara suami akan jadi gantinya. Mati istri saudara istrinya yang akan jadi gantinya (mengganti Tikar)

· ‘Kalah adat karena janji’ segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh adat baik peraturan maka batallah bila diantara kedua belah pihak telah berjanji.

· ‘Sumbing bertitip patah berkimpal’ umpama meminjam suata harta atau benda jika barang itu rusak maka kerusakan diperbaiki atas perdamaian.

· ‘Pemberian habis saja’ artinya suka sama suka. Lain-lain dari itu adat bujang gadis, aturan pusaka, cupak gating.


Setelah proses pelaksanaan peradilan adat maka akan ada Sekapur Sirih yang merupakan wujud dari Ireak Ngen Ca’o atau tata cara adat. Pada masa penjajahan Belanda selain referensi diatas dalam menetapkan sangsi adat, masyarakat adat Rejang mempedomani tata aturan adat yang tersusun dalam buku Undang-Undang Simbur Cayo sehingga sangsi-sangsi adat kebanyakan berwujud sangsi material pada hal dalam tata aturan atau pokok adat Rejang sangsi yang diberikan adalah sangsi social dan moral seperti dikucilkan, diusirkan dan lain-lain. Dengan kitab Undang-Undang Simbur Cayo masyarakat adat Rejang mengenal sangsi material tersebut dengan satuan uang Riyea. Dalam pelaksanaan peradilan adat tahapan-tahapan yang dilalui adalah :

Tata cara pelaksanaan peradilan adapt sebelum tahun 1979

Tahap I. Proses Awal

  • 1. Pihak korban melaporkan kasus atau kejadian kepada Ketua Sukau dimana korban berada.
  • 2. Kemudian ketua Sukau pihak korban melaporkan kejadian tersebut kepada Ketua Sukau pihak pelaku.
  • 3. Ketua Sukau pelaku memanggil pelaku untuk meminta keterangan terhadap laporan dari Ketua Sukau korban.
  • 4. Setelah mendengar pengakuan dari pelaku Ketua Sukau pelaku mendatangi Ketua Sukau korban untuk membahas permasalahan yang sedang dihadapi oleh Anak Sukau mereka.
  • 5. Dari hasil musyawarah antara Ketua Sukau pelaku dan korban kemudian dibawah ke Ketua Kutai (Hakim Desa).
  • 6. Setelah menerima laporan dari Ketua Sukau korban dan Ketua Sukau pelaku Ketua Kutai memanggil seluruh Ketua Sukau untuk melaksanakan proses Pereradilan Adat.

Tahap II. Proses Penyelesaian Sengketa

  • 1. Ketua Kutai memintak penjelasan dari Ketua Sukau pihak korban dan Ketua Sukau pelaku.
  • 2. Kemudian Ketua Kutai memintak keterangan dari korban dan pelaku untuk mengsinkronisasikan keterangan yang disampaikan Ketua Sukau pelaku dan Ketua Sukau korban dengan keterangan pelaku dan korban.
  • 3. Ketua Kutai menanyakan kepada korban dan pelaku (Pihak yang Bersengketa) apakah merekah bersedia permasalahan yang mereka hadapi diselesaikan secara Adat (Hukum Adat). (Apabilah kedua pihak sepakat untuk diselesaikan secara adat maka Ketua Kutai melanjutkan proses peradilan adat)
  • 4. Dalam persidangan Ketua Kutai menanyakan persoalan sesungguhnya dengan para pihak yang bertikai.

Tahap III. Proses Penentuan Keputusan

  • 1. Sebelum menetapkan keputusan Ketua Kutai selalu mengunakan pokok-pokok adat diatas selain mengunakan falsapah ’Ayam Hitam Terbang Malam Hinggap Di Kayu Rindang Pohon’ atau azas praduga tidak bersalah selanjutnya juga meminta pertimbangan dan nasehat dari Rajo atau Pelindung Adat serta cerdik pandai, alim ulama dan orang-orang di anggap pintar di Kutai tersebut.
  • 2. Dari masukan dan nasehat pelindung adat kemudian Ketua Kutai memintak saran dan pendapat dari empat orang Ketua Sukau baik kepada Sukau yang bersengketa maupun dengan Sukau yang lain.
  • 3. Setelah mempertimbangkan saran dan nasehat dari pelindung adat dan para Ketua Sukau maka Ketua Kutai memutuskan suatu perkara tersebut dengan mengunakan sekapur sirih sebagai lambang kesepakatan yang disaksikan oleh banyak pihak yaitu Anok Sukau dan para pihak lainnya.

Proses peradilan adat ini biasanya memakan waktu sampai 2 minggu, namun pada beberapa kasus peradilan adat ini dilakukan dengan menemukan relasi antara adat, agama sesuai dengan pepatah Adat Bersendi Syarak Dan Syarak Bersendi Kitabullah. Dalam kasus-kasus perdata dan pidana dalam pelaksanaan dan proses peradilan adat alur dan prosesnya sama. Namun ada beberapa contoh kasus di Kabupaten Lebong diselesaikan secara adat namun pada prosesnya ada beberapa tahapan yang terlewatkan karena ada oknum pelaksana (eksekutor) yang bias keadilan dan ada kepentingan politis.

Tata cara pelaksanaan peradilan adat setelah tahun 1979

  • a. Terdakwa diproses dikantor desa oleh kepala desa dan perangkatnya
  • b. Kemudian diproses perbal, berkas barang-barang bukti serta saksi di ajukan oleh desa kepada sidang penyelesaian adapt. Ketua Syara’ dan ketua Kutai untuk diselesaikan secara adapt. Terdakwa di beri hak untuk mendapat pembela yaitu oleh ketua suku
  • c. Bahasa halus setiap perkara diterapkan diwaktu siang (sidang terbuka untuk umum) dan sidang untuk masalah-masalah pelanggaran susila atau aib dilakukan pada malam hari dan tertutup untuk umum.
  • d. Penyerahan perkara untuk diselesaikan dalam forum adapt kepadamajelis tiga penembahan suku ( ketua adapt, ketua syara’ dan ketua kutai ) melalui Sirih Sesanggan dan perlengkapan ritual seperti Pujung nasi dan pujung serawo serta saksi, barang bukti. Berkas pernyataan terdakwa serta denda-denda adat lainnya.

Permasalahan yang Diselesaikan Lewat Peradilan Adat

1. Pidana

  • o Pemukulan terhadap orang lain
  • o Pembunuhan
  • o Pencurian

2. Perdata

  • o Sengketa Hak Milik (Perdata)

Syarat-Syarat pelaksanaan Peradilan Adat:

1. Terjadinya khasus adalah diwilayah hukum adat bersangkutan atau dilakukan oleh anggota masyarakat adat bersangkutan.

2. Memenuhi unsur pidana adat sesuai aturan yang berlaku.

3. Ada laporan khasus yang disampaikan ke lembaga adat.

Hambatan-hambatan dalam menegakkan keberlanjutan peradilan adat

a. Bahwa hukum adat setempat boleh berlaku bila telah disyahkan oleh pemda, berlaku untuk wilayah adapt setempat, dilaksanakan atas perintah atau tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi (Negara atau pemda). Jika tidak demikian maka keputusan peradilan adapt dapat di anulir oleh keputusan peradilan Negara.

b. Sumber daya manusia ( desa ) yang tidak menguasai persoalan hukum

c. Tidak ada pembelajaran yang sinambung tentang masalah adapt dan peradilan adat.

Peluang-peluang dalam menegakkan keberlanjutan peradilan Adat

a. Motivasi masyarakat dalam rangka penyelesaian masalah demi menjamin keamanan, ketertiban dan pelestarian hubungan antar warga masih ada.

b. Masyarakat merasa bahwa penyelesaian secara adat memang di butuhkan dan bukan hanya dipentingkan sewaktu-waktu saja. Penyelesaian secara Adat dilakukan dengan berbagai macam pertimbangan sebagai berikut :

a. Penyelesaian ini bersipat sacral, bukan hanya antar manusia saja tetapi juga penguasa terdahulu dan mahluk Allah yang lainnya. ( stako adat )

b. Sisi terahir dalam penyelesaian adat, pihak-pihak yang bersalah didamaikan dan berkewajiban saling menjaga hubungan baik.

c. Untuk menghindari sumpah/sanksi orang banyak.

d. Untuk menunjukkan nilai-nilai kebenaran bagi segala pihak bukan cuman pihak yang terlibat perkara.

Kasus-kasus pembunuhan dalam penyelesaian secara adat Rejang ini di bagi dua jenis yaitu

1. Iram Tiado Berdarah Maksudnya Pembunuhan yang dilakukan menggunakan alat tumpul yang mencederai orang lain tampa mengeluarkan darah tapi mengakibatkan orang meninggal dunia.

2. Iram Berdarah maksudnya pembunuhan yang dilakukan dengan menggunakan senjata tajam atau sejenisnya sehingga mengeluarkan darah dan mengakibatkan orang meninggal.

Penyelesaian melalui hukum adat terhadap Iram Tiado berdarah dan Iram Berdarah yang berdampak meninggalnya seseorang menurut hukum adat yang berlaku diselesaikan dengan cara, harus membayar sangsi adat yaitu satu bangun. Sedangkan apabilah tidak sampai menghilangkan nyawa seseorang maka akan didikenai sanksi adat yang disebut Setengah Bangun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

free counters
Related Posts with Thumbnails