literature : Ucapan Biku Bembo ketika mengunjungi Kerajaan Majapahit

Bo kunei Tun Topos
diterjemahkan oleh Tun Jang


Menurut orang-orang tua yang di turunkan secara lisan, saat Biku Bembo salah satu 4 biku nenek moyang orang Rejang berkunjung ke Kekerajaan Majapahit, beliau mengucapkan kalimat :

'Nangku kaca aribikam aribikum, aku mlupat ke tanah tanah yakin, kaut saudaraku gunung saudaraku, tunduk laut dan gunung padoku seorang kato allah'


Menurut nasehat orang - orang tua dahulu, ucapan ini sangatlah baik di ucapkan oleh keturanan Suku Rejang saat menginjakkan kaki di tanah rantau. Tapi sesungguhnya yang terpenting adalah bagaimana kita membawakan diri dengan baik di negeri orang. Seperti kata pepatah, dimana kaki berpijak, di situ langit di junjung.

Sumber : Muning Malim

Kutipan naskah asli :

menurut tun tuwai, waktau Bikau Bembo moi kerajaan Majapahit si Mbaco Ucep:

'Nangku kaca aribikam aribikum, aku mlupat ke tanah tanah yakin, kaut saudaraku gunung saudaraku, tunduk laut dan gunung padoku seorang kato allah'

amen nadeak gua'au ucep yo baik nakei amen ite pei masuk neak pnan tun, tapi mungkin do terpenting ne ade ba sugesti supapo ite pacok mbin dirai nak penan tun.


awei o ba da

Muning Malim

(bo kunei Tun Topos)

Admin :

Kalimat ini seperti sejenis sastra yang berbentuk Mantra. Bila di tilik dari nilai sejarah kemungkinan kalimat ini dibuat setelah jaman biku bembo, karena kalimatnya ada menggunakan bahasa melayu dan pengaruh Islam. Islam sendiri masuk ke tanah rejang, beratus tahun setelah jaman dari empat biku terjadi.

source: rejang-lebong.blogspot.com

Dance : Sekedei Dance the new creation dance from Rejang Land

This is the new creation dance from Rejang Land. Theme dance inspiration by the biggest parasite plant in the world. As we know, Rafflesia Arnoldi flower have habitat in many area of tropical rain forest in Rejang Land, Sumatra.

Sekedei in Rejang language meaning Rafflesia flowers, the Queen of Parasite.

Rafflesia flowers first time found by Resident Bencoolen name Sir Stamford Raffless and his assistan Arnoldi at Manna, South Bengkulu regency. To remind thats event the flowers given in taxonomi name as Rafflesia Arnoldi.


Credit photo by Andi Armanda

source: rejang-lebong.blogspot.com

Prosesi Demapet Bakea Ngeyan / Sematen

Berikut ini merupakan Dokumentasi dari Prosesi adat Rejang, tentang Menjemput calon pengantin Perempuan untuk datang kerumah pengantin wanita

demapet bakea ngeyan cara rejang 10

demapet bakea ngeyan cara rejang 12

demapet bakea ngeyan cara rejang 11


demapet bakea ngeyan cara rejang 9

demapet bakea ngeyan cara rejang 7

demapet bakea ngeyan cara rejang 3.

source:senadung4petulai.blogspot.com

Seni dan Budaya Rejang dan Persoalannya

oleh Erwin S Basrin

Suku Rejang adalah salah satu suku tertua di pulau Sumatra selain suku Bangsa Melayu, argumen ini dikuatkan bahwa Suku Rejang ini telah memiliki tulisan dan bahasa sendiri, ada perdebatan-perdebatan panjang mengenai asal-usul Suku Rejang, selain sejarah turun temurun beberapa tulisan tentang rejang ini adalah tulisan John Marsden (Residen Inggris di Lais, tahun 1775-1779), dalam laporannya dia meceritakan tentang adanya empat petulai Rejang yaitu Joorcalang (Jurukalang), Beremanni (Bermani), Selopo (Selupu) dan Toobye (Tubai).[1]

Catatan-catatan lain tentang Kedudukan 4 Petulai tersebut sebagai komunitas adat asli Rejang, dalam laporannya mengenai ‘adat-federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang Dr. JW. Van Royen menyebutkan bahwa kesatuan Rejang yang paling murni dimana marga-marga dapat dikatakan didiami hanya oleh orang-orang di satu Bang, harus diakui Rejang yang ada di wilayah Lebong.[2]

System Petulai dalam sejarah Suku Bangsa Rejang dan warga komunitasnya merupakan himpunan manusia (indigenous community) yang tunduk pada kesatuan Hukum yang dijalankan oleh penguasa yang timbul sendiri dari Masyarakat Hukum Adat, kelembagaan petulai adalah kesatuan kekeluargaan yang timbul dari system unilateral (kebiasaanya disusurgulurkan kepada satu pihak saja) dengan system garis keturunannya yang partrinial (dari pihak laki-laki) dan cara perkawinannya yang eksogami, sekalipun mereka berada di mana-mana.[3]

Sebagai indigenous community suku bangsa rejang tentunya memiliki beberapa kearifan local dalam mengurus diri (manusia, alam dan gaib) kemudian dikenal dengan istilah local adat rian ca’o atau adat neak kutai nated. Aplikasi system ini umumnya dalam system adat Rejang di aplikasikan dalam berbagai bentuk dengan nilai estetika yang tinggi, system demokrasi diaplikasikan dengan musyawarah mupakat oleh tetua adat yang kuat akan legitimasi komunitas ‘jurai’ yang dipimpinnya, dengan sumber-sumber daya alam system pengelolaannya lebih kental dengan system kepemilikan komunal di beberapa tahapannya dilakukan dengan menampilkan seni budaya yang magis, ‘kedurai’ adalah salah satu budaya untuk membuka Hutan, ‘Mundang Biniak’ acara seni budaya ketika menanam padi, dan ‘kedurai agung’ adalah pentas seni kolosal yang dipercayai mampu menangkat musibah bagi komunitas tertentu.

Jika dilihat lebih jauh aplikasi system seni dan budaya ini sangat kuat akan nilai-nilai yang tentunya akan bermanfaat baik bagi keberlanjutan komunitas Rejang secara umum, baik system kelembagaan komunal maupun keberlanjutan sumber-sumber daya alam yang ada dalam lingkup komunitas Rejang yang sangat memiliki hubungan dengan masing-masing petulai.

UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa tidak hanya berdampak pada system dan legitimasi hokum atas kelembagaan adat di Rejang tetapi di saat yang sama mengenalisir aplikasi seni dan budaya, mendistorsi definisi adat, kemudian secara berlahan-lahan sistem social dengan kepemilikan komunal mulai berganti dengan system individualism yang sempit dan mengedepankan akumulasi capital yang exploitative baik terhadap sumber-sumber daya alam maupun terhadap system social dalam bentuk seni budaya.

Persoalan ini kemudian lambat laun akan berdampak pengahancuran lebih jauh terhadap kelembagaan, seni dan budaya masarakat Rejang sehingga hal yang paling mungkin untuk dilakukan adalah dengan mendokumentasikan kembali system-system seni dan budaya tersebut, sehingga nilai-nilai yang terkandung didalamnya akan menumbuhkan apresiasi tidak hanya bagi komunitas Rejang tetapi apresiasi masyarakat lebih luas terhadap nilai-nilai yang terkandunbg didalamnya yang tentunya lebih mampu mengelola dirinya secara baik dan berkelanjutan.


[1] W. Marsden, The History of Sumatera, London MDCCLXXXIII, hal 178

[2] Dr. JW. Van Royen, adat-federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang Bab de Redjang. Hal 18

[3] Prof. DR. H. Abdullah Siddik dalam Hukum Adat Rejang


source: http://amarta.wordpress.com/

Peran Elite Tradisional: Studi Kasus Pasirah Di Rejang Lebong Abad XX

Siti Rohanah, Ajisman, Ernatip, dan Jumhari, Peran Elite Tradisional: Studi Kasus Pasirah Di Rejang Lebong Abad XX. Padang : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang, 2004.

Pasirah adalah salah satu elite tradisional yang bertugas mengatur pemerintahan tradisional dan acara ritual-ritual, pesta-pesta dan upacara-upacara adat lainnya.. Sidik Abdullah (1980: 120) menyebutnya sebagai pimpinan suatu wilayah yang disebut marga. Di samping sebagai kepala pemerintahan, pasirah juga memiliki fungsi sebagai hakim tertinggi dalam memutuskan segala permasalahan baik yang menyangkut adat-istiadat maupun masalah perkawinan, perceraian dan aturan jual beli. Dalam menjalani pemerintahan dan pelaksanaan adat, pasirah dibantu oleh seorang kepala dusun (proatin)
Secara historis sistem pasirah terbentuk melalui Surat Keputusan Pemerintah kolonial Belanda Tertanggal 25 Desember 1862. Terbentuknya sistem pasirah dengan sendirinya menghapus sistem bupati di wilayah Bengkulu secara keseluruhan. Alasannya, karena pada masa kepemimpinan bupati (regent) tidak terlalu disukai oleh rakyat karena sikap dan kepemimpinannya yang dianggap tidak dapat mengayomi dan melindungi segala kepentingan masyarakat. Mereka hanya mementingkan kepentingan pribadi dan golongan dari pada kepentingan masyarakat umum. Faktanya tidak jarang terjadi saling sikut-menyikut di antara para regent bahkan muncul kecendrungan menjilat ke atas dan menendang ke bawah. Oleh karena itu Belanda berpendapat masyarakat pribumi lebih menyukai kepemimpinan kolonial Belanda ketimbang bupati yang notabene adalah sesama pribumi. Dalam kasus ini, dapat dikaji lebih dalam lagi karena kemungkinan besar hanyalah alasan yang di buat-buat oleh Belanda dan mengandung unsur politis. Dengan dihapuskannya sistem regent otomatis daerah Bengkulu berada di bawah kekuasaan Belanda secara keseluruhan sebagai penguasa tunggal.Sebagai gantinya, maka setiap daerah dibentuk semacam marga yang dikepalai oleh seorang pasirah.
Sistem pemerintahan marga yang dipimpin oleh kepala marga yang disebut pasirah muncul pertama kali pada sekitar tahun 1862. Sistem pemerintahan marga berlaku di seluruh wilayah Bengkulu setelah adanya pergantian pemerintah dari Kolonial Inggris ke Belanda. Pada masa pemerintahan Inggris, sistem pemerintahan yang diterapkan adalah kabupaten dan dikepalai oleh seorang bupati. Setelah pergantian pemerintahan maka sistem pemerintahan pun berganti dan sesuai dengan aturan yang diberlakukan oleh pemerintahan baru.
Penyerahan jajahan Inggris atas daerah Bengkulu kepada pemerintahan Kolonial Belanda terjadi pada tanggal 6 April 1825 berdasarkan Traktat London pada tanggal 17 Maret 1824.
Seorang kepala marga, diberi hak dan kewenangan dalam pemerintahan marga untuk mengatur pemerintahan dan adat. Di samping itu dia juga bertindak sebagai hakim dalam memutuskan perkara jual beli, pelanggaran adat, pengatur pajak dan pengeluaran keuangan dan belanja marga Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, pasirah atau kepala marga merupakan wakil Belanda dalam marga. Sebagian pendapat mengatakan, bahwa antara kepala marga dengan Belanda mempunyai hubungan yang dekat. Pasirah selain berfungsi sebagai kepala marga, juga menjadi penghubung yang kuat antara masyarakat dan Belanda. Oleh sebab itu, kepala marga/pasirah digaji dan berada di bawah pengawasan Belanda. Pendapatan (gaji) dari pemberian Belanda adalah penghasilan pokok bagi pasirah di luar pendapatan lain, seperti hasil pembayaran denda pelanggaran adat maupun hak-hak penguasaan tanah ulayat.
Berkaitan dengan kedekatan hubungan keduanya maka kolonial Belanda mencari cara dan teknis untuk memanfaatkan hal tersebut. Hal ini dilakukan sebagai upaya agar kepala marga/pasirahu lebih berkreatif untuk menghasilkan pendapatan kas Belanda. Cara-cara yang dilakukan oleh kolonial Belanda adalah pemberian gelar kehormatan dan kenaikan pendapatan bagi setiap pasirah yang dianggap berprestasi. Cara dan teknis seperti ini cukup menguntungkan karena jika seorang kepala marga telah mendapatkan gelar kehormatan tersebut maka mau tidak mau statusnya menjadi lebih tinggi dari yang lainnya bahkan selevel dengan Belanda. Keadaan ini terus berlangsung hingga Indonesia merdeka.
Pada tahun 1970 pemerintahan Republik Indonesia mengeluarkan undang-undang dan peraturan pemerintah yang menghapus undang-undang pemerintahan adat di seluruh Indonesia dan otomatis dengan dikeluarkannya peraturan baru maka hukum adat tidak berlaku lagi di daerah-daerah karena hukum yang berlaku adalah hukum peradilan nasional. Artinya, pihak-pihak hukum adat mulai dari tingkat yang paling kecil (kampung), desa hingga marga berakhir menjadi hukum nasional. Denda dan kurungan adat serta ganjaran lain yang bersifat adat menjadi keputusan hakim secara nasional bukan daerah. Begitu juga bentuk hukuman berubah sesuai dengan undang-undang peradilan nasional. Proses hukum dari hasil rapat dan musyawarah untuk memutuskan sangsi apa yang dijatuhkan berubah menjadi sistem atau cara peradilan nasional yang sifat dan kesanya lebih panjang dari proses adat.
Pada tahun 1979 dikeluarkan pula oleh pemerintah pusat untuk mengubah pemerintahan marga menjadi sistem desa. Marga menjadi hilang dan terhapus berganti menjadi desa dengan kepala desa sebagai pemimpinnya. Kepala Marga berubah statusnya dan dipilih ulang, orang-orang yang akan menggantikan menjadi Kepala Desa. Dalam satu marga terdiri dari beberapa desa artinya beberapa orang yang harus dipilih dan diangkat menjadi kepala desa dalam wilayah bekas marga tersebut. Akan tetapi ada juga kepala desa yang terpilih langsung, dari seorang pasirah artinya pasirah tersebut berubah fungsi menjadi kepala desa secara terkecil. Sebagian lagi diangkat langsung menjadi PNS dan berkedudukan di setiap instansi pemerintah.

source:rejang-lebong.blogspot.com
free counters
Related Posts with Thumbnails