Putri Serindang Bulan

Cerita Rakyat dari Tanah Rejang

Putri Yang Malang

Tersebutlah dalam kisah, pada zaman dahulu sebelum ada nama Muara Ketahun, ada nama Sungai Serut. Setelah ditinggali oleh Putri Serindang Bulan, selama setahun, maka dinamailah wilayah itu Muara Setahun (sekarang Ketahun).

Konon pada zaman dahulu ada seorang putri raja yang cantik jelita bernama Putri Serindang Bulan. Oleh karena kecantikannya yang tiada taranya, maka banyak orang yang jatuh hati kepadanya. Sudah banyak pemuda yang tertambat hatinya ingin mempersunting Putri Serindang Bulan. Tetapi Putri Serindang Bulan sendiri belum memikirkan untuk hidup berumah tangga. Walaupun pada saat itu, usia Putri Serindang Bulan sudah cukup dewasa untuk hidup berkeluarga.
Sebagai anak bungsu, Putri Serindang Bulan selalu menunjukkan rasa hormatnya kepada keenam kakak kandungnya. Karena keenam kakak kandungnya belum juga menikah, maka Putri Serindang Bulan tidak mau mendahului. Oleh sebab itulah Putri Serindang Bulan belum bersedia menerima pinangan.
Tentu saja sikap Putri Serindang Bulan itu mengecewakan banyak orang, termasuk pula keenam kakaknya. Keenam kakak kandungnya merasa kecewa dan menanggung malu, karena adiknya tidak mau segera menikah. Padahal keenam kakaknya berniat kawin beleket, setelah Putri Serindang Bulan menikah dahulu. Oleh sebab itulah, pada suatu hari dipanggilnya Putri Serindang Bulan oleh keenam kakaknya.
Di sebuah Balai Panjang Istana, duduklah berkumpul tujuh kakak beradik mengadakan rapat keluarga. Dalam rapat tersebut, keenam kakaknya mendesak agar Putri Rindang Bulan segera menikah. Sebagai adik bungsu yang selalu hormat kepada kakak-kakaknya, Putri Serindang Bulan pun tak kuasa menolaknya. Walaupun dalam hati sebenarnya, Putri Serindang Bulan belumlah menemukan jodohnya.
Rupanya sikap Putri Serindang Bulan yang sudah lunak itu segera tersiar keseluruh penjuru wilayah kerajaan. Tentu saja banyak yang menyambutnya dengan sukacita. Terlebih anak para raja yang sudah lama memendam rasa cintanya ingin mempersunting Putri Serindang Bulan.
Tak seberapa lama kemudian, datanglah utusan dari seorang Pangeran Muda yang tampan menghadap Sang Baginda Raja Wawang. Kedatangannya tak lain bermaksud mempersunting Putri Serindang Bulan yang terkenal eloknya. Raja Wawang dan keenam kakak-kakaknya itupun segera menerima dengan penuh suka cita. Maka, segeralah disusun rencana hari bimbangnya.
Ketika dipertemukan kedua calon mempelai, tiba-tiba paras Putri Serindang Bulan yang semula cantik berubah amat buruk. Wajah dan kulit Putri Serindang Bulan telah terkena penyakit kusta yang menjijikkan. Dilihatnya wajah Putri Serindang Bulan yang amat menjijikkan itu, maka bergegaslah Pangeran Muda itu meninggalkan Balai bimbang. Utusan Pangeran Muda itupun segera membatalkan acara pernikahan, dan pulang dengan hati kecewa.
Apa hendak dikata, jikalau batang sudah berarang, itulah kenyataannya. Keluarga Raja Wawang dan keenam kakaknya pun tak dapat menyalahkan pembatalan utusan Pangeran Muda itu. kecuali hanya menanggung malu dan rasa sedih akan kejadian yang sungguh diluar jangkauan akal manusia.
Akan tetapi, tak lama kemudian setelah para utusan itu pulang, tiba-tiba penyakit kusta Putri Serindang Bulan itu hilang seketika. Wajah dan kulit yang buruk dan menjijikkan itu kini telah menjadi bersih dan cantik kembali. Raja Wawang dan keenam kakaknya menyambutnya dengan gembira. Dan kabar telah sembuhnya Putri Serindang Bulan dari penyalit kusta itu pun segera menyebar ke segala penjuru kerajaan.
Pada hari berikutnya, datanglah seorang pemuda gagah dan tampan bersama rombongannya masuk ke istana. Pemuda dan rombongannya itu segera menyatakan maksudnya untuk mempersunting Putri Serindang Bulan. Perundingan segera dilakukan, acara bimbang pun telah diserapatkan.
Suatu hari ketika kedua mempelai dipertemukan, kejadian aneh terulang kembali. Tiba-tiba wajat dan kulit Putri Serindang Bulan berubah buruk dan menjijikkan. Semua yang melihat sangat terkejut, terlebih calon mempelai laki-laki. Setelah dilihatnya seluruh wajah dan kulit Putri Serindang Bulan berubah buruk dan menjijikkan, maka berlarilah calon mempelai laki-laki itu meninggalkan Balai Panjang Istana. Demikian juga dengan rombongannya. Maka batallah rencana perkawinan Putri Serindang Bulan untuk kedua kalinya. Keluarga Raja Wawang beserta keenam kakaknya pun menanggung rasa malu yang amat besar.
Peristiwa itu sungguh luar biasa anehnya. Sebab begitu dibatalkan, tiba-tiba penyakit kusta Putri Serindang Bulan hilang seketika. Wajah dan kulitnya yang amat buruk dan menjijikkan itu telah kembali seperti semula. Bahkan wajah dan kulitnya pun tak berbekas sedikitpun. Peristiwa itu sungguh mentakjubkan banyak orang.
Peristiwa itu terus terjadi tanpa disadarinya. Jikalau dihitung, sudah ada sembilan orang yang membatalkan pernikahannya dengan Putri Serindang Bulan. Raja Wawang dan keenam kakaknya pun kian lama kian murka dibuatnya. Keenam kakaknya pun mulai menaruh curiga buruk terhadap adik bungsunya, Putri Serindang Bulan.

Dibuang Setahun

Akibat pembatalan pernikahan yang terus menerus itu, hubungan antara Putri Serindang Bulan dengan keenam kakaknya itu semakin jauh. Putri Serindang Bulan mulai dimusuhi oleh kakak-kakaknya. Bahkan ada yang berniat untuk menyingkirkannya, karena dianggap menjadi sumber petaka bagi keluarga kerajaan.
Pada suatu hari berkumpullah keenam kakaknya di sebuah ruangan istana yang dirahasiakan. Pertemuan keenam kakak-kakaknya itu membahas rencana menyingkirkan adik bungsunya. Salah satu kakaknya mengusulkan agar adik bungsunya di bawa ke hutan lalu dibunuhnya. Kemudian diusulkan pula, bahwa yang membawa si bungsu itu sebaiknya Karang Nio. Sebab, Karang Nio adalah kakak si bungsu yang kelima, yang dinilai lebih dekat dengan adik bungsunya.
Semula Karang Nio keberatan dengan usulan kakak-kakaknya yang merencanakan akan membunuh si bungsu. Tetapi karena yang lainnya menyetujui, maka Karang Nio tak dapat berbuat banyak kecuali melaksanakannya. Kemudian dibuat kesepakatan sebagai tanda bukti, bahwa Karang Nio harus membawa setabung darah si bungsu, dan bukti penigasan (irisan) bagian telinganya.
Setelah segala sesuatunya telah dipersiapkan, maka pergilah Karang Nio menemui adiknya si bungsu Putri Serindang Bulan. Kemudian diajaknya Putri Serindang Bulan pergi jalan-jalan. Putri Serindang Bulan mulanya tak menaruh curiga kepada kakaknya, tetapi setelah perjalanannya semakin jauh masuk ke hutan, perasan Putri Serindang Bulan semakin takut tak karuan.
Setibanya di tengah hutan, Karang Nio segera mengajak Putri Serindang Bulan untuk beristirahat sejenak. Disaat beristirahat itulah, Putri Serindang Bulan bertanya kepada kakaknya. “Tiadalah pernah sekali-kali kakak membawaku sampai sejauh ini. Adakah gerangan hingga kakak membawaku ketengah hutan yang amat sunyi ini?” Mendengar pertanyaan yang amat menyentuh hati itu, tiadalah Karang Nio mampu menjawab barang sepatah katapun. Bibirnya seperti terkunci rapat, hingga tak keluar suara sedikitpun dari rongga mulutnya. Dalam lubuk hati yang terdalam, Karang Nio sungguh tiada sanggup untuk membunuh adik bungsunya.
Setelah dipikirkannya masak-masak, lalu berceritalah Karang Nio kepada adik bungsunya. Dikatakannya terus terang, bahwa ia disuruh oleh kakak-kakaknya untuk membunuh Putri Serindang Bulan. Kakak-kakaknya merasa menanggung malu akibat perbuatan si bungsu. Untuk menghapus rasa malu, maka diputuskan untuk membunuh Putri Serindang Bulan di tengah hutan. Dan kelak jikalau kakak kembali harus membawa tanda buktinya, irisan sebagian dari telinganya.
Mendengar pengakuan tulus dari kakaknya itu, Putri Serindang Bulan segera menyadari akan nasibnya. Maka berkatalah Putri Serindang Bulan dengan bijaknya: “Jikalau demikian adanya, lakukanlah segera kanda. Adik serahkan sepenuhnya nyawa ini kepada kakanda.” Maka Karang Nio pun segera membalasnya, “Sungguh hati kecil kakanda tiadalah tega untuk melakukannya. Sebab, kakanda amat kasih dan sayang semata kepada adinda.”
Setelah berpikir sejenak, Karang Nio lalu memotong seekor anjing. Darah anjing itu kemudian ditempatkan pada sebuah tabung yang dibawanya. Maka berkatalah kepada adiknya; “inilah bukti yang akan aku tunjukkan kepada mereka. Oleh karena harus ada tanda bukti lain, maka izinkanlah kakanda melukai barang sedikit daun telinga sebelah belakang adinda. Kelak jikalau kita dipertemukan kembali, kakanda dapat menemukan tanda itu pada diri adinda. Sebaliknya, kakanda juga akan melukai telunjuk jari kakanda sendiri, sebagai tanda pengingat pada adinda.”
Kemudian Karang Nio mengajak Putri Serindang Bulan pergi menuju ketepian sungai keramat Ulau Deus. Karang Nio segera membuat rakit untuk melepas Putri Serindang Bulan. Setelah rakit jadi, lalu dilepaslah Putri Serindang Bulan hingga terbawa arus sungai.
Konon ceritanya setiap daerah yang dilewati Putri Serindang Bulan itu menjadi sebuah dusun. Maka jadilah sebuah dusun yang bernama Dusun Raja. Tak terasa setahun sudah Putri Serindang Bulan menyisiri sungai dengan rakitnya. Setelah sampai di sebuah muara, maka diberilah nama daerah dengan itu nama Muara Setahun ( sekarang menjadi Ketaun).
Setibanya di muara Setahun, Putri Serindang Bulan segera menaikkan rakitnya ketepian sungai. Selanjutnya Putri Serindang Bulan menaiki tebing dan membuat tempat tinggal disana. Tempat tinggal Putri Serindang Bulan diatas tebing itu, kemudian diberi nama Tepat Masat. Di tempat inilah Putri Serindang Bulan tinggal dalam waktu yang cukup lama.

Bertemu Raja Indrapura

Pada suatu ketika, ada sebuah perahu yang melewati muara sungai Setahun. Pemilik perahu itu adalah seorang raja dari Indrapura yang bernama Tuanku Raja Alam. Ketika perahu melewati muara, Tuanku Alam Raja melihat cahaya kemilau yang memancar di atas tebing. Oleh karena rasa penasarannya, maka segeralah Tuanku Raja Alam mendekati dan menaiki tebing itu.
Sesampainya di atas tebing, cahaya yang kemilau itu tiba-tiba hilang, dan yang ada hanyalah sebuah bangunan rumah. Maka segeralah Tuanku Raja Alam mendekati bangunan rumah itu, lalu mengetuk pintunya. Tak lama kemudian, muncullah Putri Serindang Bulan dari dalam rumah itu. Tuanku Raja Alam sangat terkejut melihat Putri Serindang Bulan yang memiliki paras nan elok dan jelita.
Keduanya pun saling berkenalan. Kemudian Putri Serindang Bulan menceritakan asal mula kejadiannya hingga terdampar di muara Sungai Ketahun. Mendengar penuturan kisah Putri Serindang Bulan yang amat lembut itu, Tuanku Raja Alam menjadi terharu dan kian terpikat olehnya. Tuanku Raja Alam juga menceritakan tentang kegemarannya pergi berburu kehutan-hutan, hingga akhirnya bertemu dengan Putri Serindang Bulan.
Setelah keduanya saling bercerita, Tuanku Raja Alam kemudian mengutarakan niatnya untuk membawa Putri Serindang Bulan ke istana Indrapura. Putri Serindang Bulan pun menyambutnya dengan penuh sukacita. Maka segeralah mereka berangkat menuju istana kerajaan Indrapura.

Calon Permaisuri Raja

Tak seberapa lama kemudian, tibalah rombongan Tuanku Raja Alam bersama Putri Serindang Bulan di istana kerajaan Indrapura. Maka segeralah Tuanku Raja Alam mengumpulkan para hulubalang, serta memanggil empat penghulu kerajaan untuk mengadakan kerapatan.
Di hadapan para pembesar dan empat penghulu kerajaan Indrapura, Putri Serindang Bulan segera menceritakan kembali kisah sedih hidupnya hingga akhirnya bertemu dengan Tuanku Raja Alam. Mendengar kisah hidup Putri Serindang Bulan itu, para pembesar kerajaan beserta empat penghulu menjadi terharu karenanya.
Tuanku Raja Alam kemudian menyatakan niatnya untuk mempersunting Putri Serindang Bulan. Oleh karena takut akan terjadi peristiwa yang sama, maka empat penghulu itu minta waktu tiga hari. Setelahj genap waktu tiga hari, maka menghadaplah keempat penghulu itu. mereka menyetujui perkawinanTuanku Raja Alam dengan Putri Serindang Bulan. Dan menjamin tidak akan terjadi apa-apa, karena Tuanku Raja Alam sudah mempunyai enam orang istri. Tetapi untuk terlaksananya sarana adat perkawinan itu, wali dari calon mempelai harus didatangkan. Itulah sa;ah satu syarat yang harus dilaksanakan agar perkawinan itu sah adanya. Setelah mendapat keterangan dari keempat penghulu itu, Tuanku Raja Alam pun dapat memakluminya.

Bimbang Besar

Tak seberapa lama lagi, kerajaan Indrapura akan menyelenggarakan acara pesta pernikahan antara Tuanku Raja Alam dengan Putri Serindang Bulan secara besar-besaran. Menurut adat tradisi yang berlaku di kerajaan Indrapura, pesta pernikahan secara besar-besaran itu disebut bimbang besar atau bimbang gedang.
Sesuai dengan syarat adat yang berlaku di negeri itu, calon wali mempelai wanita harus dihadirkan sebagai wali saksi. Oleh sebab itulah, Putri Serindang Bulan segera mengirim kabar kepada ayahanda dan keenam kakaknya.
Raja Wawang dan keenam kakaknya sangat terkejut mendapat kabar bahwa si bungsu Serindang Bulan masih hidup. Bahkan keluarga kerajaan merasa senang mendapat kabar Putri Serindang Bulan akan dipersunting oleh Tuanku Raja Alam dari kerajaan Indrapura. Ingin rasanya Raja Wawang menghadiri acara bimbang besar di kerajaan Indrapura.
Akan tetapi, apa hendak dikata. Maksud hati ingin memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Oleh karena usianya yang sudah lanjut, maka Raja Wawang tak dapat menghadiri acara bimbang besar putrinya. Maka Raja Wawang segera mengutus keenam anaknya (kakak-kakak Putri Serindang Bulan) untuk mewakili pernikahan si bungsu.
Pada hari yang telah disepakatkan, berangkatlah keenam kakak Putri Serindang Bulan ke negeri Indrapura. Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, akhirnya tibalah mereka di negeri Indrapura. Sesampainya di istana kerajaan Indrapura, mereka segera menghadap Tuanku Raja Alam. Setelah memperkenalkan diri, mereka lalu menyampaikan maksud kedatangannya. Mereka bermaksud meminta uang beleket, yaitu uang tebusan sebagai pengganti si bungsu yang akan diambil oleh Tuanku Raja Alam.
Mendengar permintaan keenam kakak Putri Serindang Bulan itu, Tuanku Raja Alam akan mengabulkan permintaan kakak beradik itu, dengan syarat mereka harus dapat mengenali Putri Serindang Bulan.
Apabila mereka masih dapat mengenali Putri Serindang Bulan, Tuanku Raja Alam akan memenuhi permintaannya, dan akan diberi berbagai macam hadiah.
Sebaliknya, jikalau tak satu pun dari mereka yang bisa menebak, maka uang beleket itu tak akan diberikan. Bahkan Tuanku Raja Alam mengancam akan menghukum mereka. Karena sudah kepalang basah, maka mereka pun menyatakan kesediaannya.
Tak seberapa lama. Tuanku Raja Alam segera memanggil tujuh wanita yang wajahnya mirip dengan Putri Serindang Bulan untuk dihadapkan kepada mereka.
Keenam kakak-beradik itupun segera mengamati satu persatu ketujuh wanita yang amat jelita parasnya. Kakak yang pertama menyerah, karena tidak dapat mengenali lagi wajah si bungsu Putri Serindang Bulan. Selanjutnya, disusul oleh kakak keduanya. Kakak keduanya juga tidak mampu mengenali lagi wajah si bungsu adiknya.
Kini giliran kakak yang ketiga. Ternyata kakak yang ketiga pun tak mengenal lagi mana adiknya yang sebenarnya. Demikian juga kakak keempat dan kelima. Keduanya sama-sama tidak mampu menebaknya. Suasanapun menjadi amat menegangkan, perjanjian sudah disepakati bersama. Jikalau tak satupun ada yang bisa menebak siapa adiknya, maka tamatlah riwayat mereka, sebab mereka akan dibunuhnya.
Kini mereka bergantung kepada Karang Nio. Ketika giliran jatuh pada Karang Nio, yaitu kakaknya yang keenam, Karang Nio tiba-tiba teringat pada peristiwa masa silam. Bahwa ia pernah memberikan sebuah tanda pada diri adiknya, yaitu dengan melukai daun telinga adiknya dibagian belakang. Maka, segeralah Karang Nio memeriksa satu-persatu daun telinga ketujuh wanita itu. ketika Karang Nio memeriksa daun telinga salah satu dari ketujuh wanita itu, ternyata diketemukan sebuah tanda. Setelah Karang Nio dapat menemukan tanda itu, maka Karang Nio semakin yakin bahwa wanita itu tidak lain adalah si bungsu Putri Serindang Bulan. Karang Nio pun segera menghadap Tuanku Raja Alam. Lalu berkata : “Tuanku Raja Alam, inilah si bungsu hamba Putri Serindang Bulan. Sebab hambalah yang memberikan tanda itu, sebelum hamba menghanyutkannya ke sungai.” Kemudian Karang Nio kembali lagi mendekati Putri Serindang Bulan, seraya berkata: ”Oi Dindaku sayang engkau seorang, kini jodoh sudah ada di depan. Tentunya, Dinda pun telah mengenali kami.” Karang Nio pun segera memperlihatkan tanda pengenal, yaitu luka yang ada pada telunjuk jarinya.
Kedua kakak beradik itupun segera berangkul melepas rasa rindu. Melihat kedua kakak beradik yang telah bertemu, maka suasana dalam istana karajaan Indrapura seketika menjadi penuh haru. Tuanku Raja Alam pun dapat memakluminya. Maka, legalah hati kakak beradik itu, karena tidak jadi dihukum oleh sang raja. Tuanku Raja Alam pun tiada jadi menghukumnya. Sebaliknya, Tuanku Raja Alam segera membayar uang jujur sebesar enam ruas bambu emas kepada masing-masing kakak beradik Putri Serindang Bulan itu.
Pesta perkawinan antara Tuanku Raja Alam dan Putri Serindang Bulan pun segera diadakan. Bimbang besar telah digelar selama tujuh hari tujuh malam lamanya. Seluruh rakyat negeri itu pun turut bersuka cita menyambut acara bimbang besar. Segala perabot bimbang. Musik gong, kulintang, redap, dan gendang pun dibunyikan bertalu-talu. Tua muda, bujang dan gadis pun turut mengisi berbagai macam tarian.

Muara Urai

Usai pelaksanaan bimbang besar, keenam kakak beradik itu segera berpamitan kepada Tuanku Raja Alam dan Putri Serindang Bulan. Mereka pulang dengan masing-masing membawa setabung bambu berisi emas. Tetapi sayang tabung bambu berisi emas itu jatuh di dasar laut, ketika biduk yang ditumpanginya pecah di tengah laut. Kecuali tabung bambu emas milik Karang Nio. Kemudian mereka mendarat di Serangai, dan terus berjalan menyisiri sebuah muara. Disanalah mereka saling bertikai dan berebut tabung emas milik Karang Nio yang selamat. Ketika mereka saling berebut, tabung emas milik adiknya itupun jatuh terurai. Tempat jatuhnya emas yang terurai itu, kemudian dinamakan Muara Urai. Melihat emas telah jatuh terurai, maka segeralah mereka berebut mendapatkannya. Akhirnya mereka pun mendapat bagian emas dari adiknya.
Setelah mendapatkan emas secukupnya, kemudian mereka saling berpisah. Adiknya yang keenam, yaitu Karang Nio segera menuju ke sebuah tempat yang dianggapnya aman dari segala gangguan. Akhirnya sampailah Karang Nio tiba di sebuah muara dan menetap disana. Tempat menetap Karang Nio itu kemudian diberi nama Muara Aman.

Melahirkan Anak Calon Raja

Sementara itu kehidupan Putri Serindang Bulan, tampak selalu bahagia. Meskipun raja sudah memiliki enam orang isteri, tetapi perhatian dan kasih sayangnya lebih banyak dicurahkan kepada Putri Serindang Bulan. Karena Putri Serindang Bulan adalah permaisurinya. Sedangkan yang lainnya hanyalah isteri selirnya.
Waktu terus berlalu dengan cepatnya. Jalinan kasih sayang Tuanku Raja Alam dan Putri Serindang Bulan kian menunjukkan buahnya. Tak seberapa lama, maka mengandunglah Putri Serindang Bulan. Tuanku Raja Alam pun menerimanya dengan amat suka citanya. Setelah menuju kesembilan bulan lewat sepuluh hari, Putri Serindang Bulan pun akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki. Anak laki-laki itu kemudian diberi nama Raja Bendar Panglimo Koto.
Sebagai ibu yang amat kasih dan sayang kepada anaknya, maka Putri Serindang Bulan tak henti-hentinya membuai dan menimang-nimang si kecil Raja Bendar Panglimo Koto. Walaupun sudah ada segenap inang dan dayang-dayang kerajaan yang siap mengasuh dan melayani si kecil, tetapi Putri Serindang Bulan lebih senang merawat dan mendidiknya sendiri. Oleh sebab itulah Putri Serindang Bulan tidak mau menyerahkan anaknya kepada inang dan dayang-dayangnya.
Rupanya Putri Serindang Bulan ingin sekali agar si kecil Raja Bendar Panglimo Koto kelak hingga dewasa selalu menghormati dan menghargai kedua orang tuanya. Dibawah asuhan kasih sayang ibundanya, Raja Bendar Panglimo Koto semakin tumbuh dan berkembang menjadi seoarng anak remaja dengan kepribadian yang baik.

Menjadi Raja di Ketahun

Setelah beranjak dewasa, Tuanku Raja Alam berkehendak agar Raja Panglimo Koto dapat menggantikan kedudukannya menjadi raja di Indrapura. Akan tetapi, sang anak yang telah mendapatkan pendidikan dan ajaran ibunya, tidak ingin mengharap warisan sang ayah. Raja Bendar Panglimo Koto, lebih senang jikalau dapat dengan bebas menentukan nasib jalan hidupnya sendiri.
Atas kebijaksanaan Putri Serindang Bulan, Raja Bendar Panglimo Koto kemudian disuruhnya pergi ke daerah Ketahun untuk membuat dusun. “Duhai Anakanda pujaan Bunda, jikalau Anakanda hendak merantau di negeri lain dan ingin menjadi raja di sana, maka pergilah ke Ketahun. Kelak anakanda akan menjadi raja disana. Sebab ibunda pernah tinggal berlama di sana”. Mendengar penuturan ibunya yang penuh bijaksana itu, maka semakin terbukalah tekad Raja Bendar Panglimo Koto
Pada hari yang baik, maka berpamitlah Raja Bendar Panglimo Koto kepada kedua orang tuanya. Tuanku Raja Alam pun tak kuasa menahan keinginan anaknya. Sebagai orang tua yang amat sayang kepada anaknya, tentu saja Tuanku Raja Alam tidak ingin anaknya mendapat kesulitan dijalan. Oleh sebab itulah, Tuanku Raja Alam memerintahkan hulubalang dan anak buah secukupnya untuk turut menyertai keberangkatan anaknya. Segala macam bekal keberangkatan juga telah dipersiapkan oleh Putri Serindang Bulan.
Sebelum berangkat, Putri Serindang Bulan berpesan kepada anaknya, agar kelak setelah berhasil membuat dusun disana, segera memberikan kabar ke Indrapura. Putri Serindang Bulan juga berjanji, jikalau kelak Raja Bendar Panglimo Koto telah menjadi raja disana, maka ibunya akan segera datang berkunjung.
Setelah segala macam bekal telah dipersiapkan, maka Raja Bendar Panglimo Koto segera mohon do’a restu kedua orang tuanya untuk merantau ke negeri Ketahun. Dengan disertai do’a restu oleh kedua orang tuanya, berangkatlah Raja Bendar Panglimo Koto beserta anak buahnya menuju Muara Ketahun.
Perjalanan yang amat panjang dan penuh rintangan, memerlukan semangat dan perjuangan yang keras. Dengan semangat dan perjuangan yang keras itulah pada akhirnya rombongan Raja Bendar Panglimo Koto sampai di Muara Ketahun. Sesampainya disana, kemudian ia mendirikan sebuah dusun yang diberi nama Dusun Muara Dua ( sekarang Kualalangi ). Dan dusun itu kemudian berkembang menjadi sebuah negeri yang amat subur dan makmur. Disitulah Raja Bendar Panglimo Koto memerintah rakyatnya dengan amat bijaksananya.
Sementara itu, anak buahnya yang menyertai dari negeri Indrapura disuruh menempati dusun disebelahnya, yaitu Dusun Raja. Dusun itulah yang dulu pernah disinggahi Putri Serindang Bulan ketika hanyut terbawa oleh arus sungai yang amat deras.
Sesuai dengan pesan ibundanya, maka Raja Bendar Panglimo Koto segera mengirim utusan ke negeri Indrapura untuk mengabarkan tentang keberhasilannya membangun sebuah dusun. Di damping itu, Raja Bendar Panglimo Koto juga membawakan bermacam bingkisan untuk kedua orang tuanya.
Setelah menempuh perjalanan yang amat jauh, sampailah utusan dari negeri Muara Dua itu di negeri Indrapura. Maka segera menghadap Tuanku Raja Alam dan Putri Serindang Bulan. Kemudian diceritakan kabar baik tentang Raja Bendar Panglimo Koto yang kini telah menjadi raja di negeri Muara Dua. Mendengar kabar baik dari anaknya, Tuanku Raja Alam dan Putri Serindang Bulan menjadi amat suka cita hatinya.

Dari Indrapura Hingga Ketahun

Putri Serindang Bulan pun teringat akan janjinya. Sebagai seroang ibu yang amat bijak dan berpegang teguh pada janjinya, maka Putri Serindang Bulan ingin segera datang ke negeri anaknya. Sebetulnya Tuanku Raja Alam berat hati jikalau isterinya itu bepergian jauh. Akan tetapi, karena sudah berpegang janji, maka sang raja tak dapat menahannya.
Pada hari yang baik, maka berpamitlah Putri Serindang Bulan kepada sang raja. Atas kebijaksanaan sang raja, Putri Serindang Bulan dikawal oleh segenap hulubalang dan anak buah secukupnya. Segala bekal untuk perjalanan telah dipersiapkan. Demikian juga dengan beberapa tabung bambu berisi emas sebagai hadiah dari raja Indrapura. Maka segeralah rombongan Putri Serindang Bulan itu berangkat meninggalkan negeri Indrapura menuju Muara Ketahun.
Konon kisah selanjutnya, sampailah Putri Serindang Bulan di sebuah pantai. Terlihat oleh Putri Serindang Bulan, ada sebuah pohon besar yang tumbuh dekat pantai itu yang berbentuk seperti muka orang. Oleh karena pohon tersebut seperti muka orang, Putri Serindang Bulan segera menyebut tempat itu dengan nama Muko-Muko. Sebelum Putri Serindang Bulan melanjutkan perjalanannya, disuruhlah anak buahnya untuk mencari sebuah sungai untuk membersihkan muka dan badannya. Kemudian ditunjukkanlah sebuah sungai yang ternyata airnya amat sedikit. Melihat air sungai yang amat sedikit itu, maka sungai itu di beri nama Sungai Air Dikit.
Perjalanan segera dilanjutkan. Setelah menempuh perjalanan yang amat berliku dan banyak rintangan, sampailah rombongan Putri Serindang Bulan di wilayah Ketahun. Putri Serindang Bulan amat terkejut ketika memasuki sebuah dusun. Ternyata kedatangannya telah lama dinanti-nantikan oleh penduduk dusun itu. Oleh Putri Serindang Bulan, dusun itu kemudian diberi nama Dusun Suka Menanti.
Setibanya di Muara Dua, Putri Serindang Bulan segera disambut dengan suka cita oleh Raja Bendar Panglimo Koto. Setelah dapat bertemu kembali, ibu dan anak itupun segera melepas kerinduannya. Konon ceritanya, Putri Serindang Bulan cukup lama tinggal di Muara Dua, karena ingin mengenang kembali kisahnya. Putri Serindang Bulan juga mengunjungi tempat-tempat yang pernah dilaluinya. Putri Serindang Bulan cukup lama tinggal di negeri anaknya, dan masih belum ingin kembali ke Indrapura. Tiba-tiba timbul perasaan rindu kepada kedua orang tuanya dan kakak-kakaknya. Oleh sebab itulah, maka segeralah Putri Serindang Bulan pergi mengunjungi kedua orang tuanya serta keenam kakaknya.
Terhadap kakaknya yang keenam, yaitu Karang Nio, Putri Serindang Bulan banyak menyimpan kenangan tersendiri. Oleh sebab itulah Putri Serindang Bulan tidak dapat melupakan kebaikan hati kakak keenamnya.
Suatu hari, Putri Serindang Bulan pernah mengirimkan berbagai macam hadiah kepada anak-anaknya Karang Nio. Anak-anak Karang Nio pun menerimanya dengan suka cita. Bahkan Putri Serindang Bulan sering datang berkunjung ke tempat tinggal Karang Nio di Muara Aman.

Diceritakan kembali oleh :
Agus Setiyanto Z


source:rejang-lebong.blogpsot.com

Putri Lalan (Asal Usul Lagu Lalan Belek)

Cerita rakyat dari Tanah Rejang

Tempat Mandi Bidadari
Alkisah, disuatu dusun yang masih belantara, terdapatlah sebuah bulak (tempat pemandian alam) yang sangat jernih mata airnya. Konon ceritanya, ditengah malam hari setiap bulan purnama tanggal empat belas, selalu didatangi oleh tujuh bidadari cantik dari kayangan yang hendak berhajat mandi dan bersukacita.

Bulak tempat mandi-mandi ketujuh bidadari dari kayangan itu memang masih perawan, karena memang belum pernah ada seorangpun yang datang dan mandi disana. Di bulak itulah ketujuh bidadari kayangan selalu mandi dan bermain dengan bebas serta bersukacita.

Kejadian itupun terus berulang-ulang pada tengah malam setiap bulan purnama yang keempat belas. Setelah usai mandi dan bersenang-senang, ketujuh bidadari itupun kembali lagi terbang ke kayangan, tempat tinggal para dewa. Air bulak bekas yang habis dipakai untuk mandi-mandi para bidadari itu, selalu menimbulkan bau wewangian yang amat harum sekali. Konon kabarnya harum wewangian di sekitar bulak itu tidak hilang-hilang sampai tujuh hari lamanya.
Namun demikian, lambat laun tempat mandi-mandi para bidadari itupun diketahui oleh salah seorang nenek tua. Kebetulan nenek tua, penghuni di talang itu tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dari tempat mandi-mandi para bidadari.

Semula, pada suatu tengah malam di bulan purnama yang keempat belas, nenek tua itu terjaga dari tidurnya, karena dari arah kejauhan mendengar ada suara banyak orang sedang mandi. Maka nenek tua itu keluar dari talangnya dan segeralah menuju ke arah datangnya suara itu. Setelah nenek tua itu mendekati bulak dengan amat perlahan-lahan, maka tertegunkah nenek tua itu melihatnya. Tak lama kemudian, ketujuh bidadari itupun segera terbang ke angkasa menuju kayangan.

Nenek tua itupun segera kembali ke talangnya dengan penuh tanda tanya dalam pikirannya. Tidak seberapa lama kemudian, tiba-tiba hidung nenek itu mencium bau wewangian yang semerbak harumnya. Bau wewangian itu terus semerbak hingga mengganggu tidur si nenek tua. Bahkan pada keesokan harinya, bau harum itupun masih tercium dihidungnya.

Oleh karena rasa ingin tahu itulah, maka bergegaslah nenek tua itu menuju ke bulak. Sesampainya dibulak, nenek itu segera memeriksa tempat yang habis dipakai mandi-mandi para bidadari semalam. Ditempat inilah nenek tua menemukan berbagai jenis bunga-bungaan yang ternyata menimbulkan bau wewangian yang amat luar biasa semerbaknya.

Maka tercetuslah perkataannya: “Oi, ternyata disinilah sumber asal bau wewangiannya. Baru sekali ini kami melihatnya, ternyata tempat ini amatlah indah, mata airnya jernih, sejuk lagi pula amat nyaman udaranya”. Nenek itupun berpikir dalam hatinya, sambil memunguti bunga-bunga harum yang beraneka warna. “Pastilah yang datang mandi-mandi disini bukan bangsa manusia, melainkan bangsa bidadari, sebab mereka bisa terbang tinggi dan jauh hingga menghilang di angkasa”.

Sesudah puas memeriksa bulak, nenek tua itupun segera meninggalkan tempat itu, dan tiada lupa membawa segenggam bunga harum warna-warni yang diambil dari bulak. Bunga-bunga itu kemudian disimpan di talangnya, dan ternyata bunga-bunga itulah yang menimbulkan bau wewangian yang semerbak hingga tujuh hari lamanya.

Sejak saat itulah nenek tua itu mengetahui bahwa disekitar talangnya ada sebuah bulak, tempat mandi-mandi alam yang amat indah pemandangannya. Mata airnya jernih, udaranya pun amat sejuk dan nyaman. Itulah awal pengalaman yang menakjubkan bagi nenek tua yang tinggal sendirian di talangnya.

Kejadian itupun berulang terus-menerus setiap bulan purnama tanggal empat belas tengah malam. Oleh sebab itu nenek tua itupun lama-lama menjadi terbiasa, dan tiada menghiraukan lagi. Sebenarnya pula, ketujuh bidadari itupun sudah merasa curiga kalau ada bangsa manusia yang telah mengetahui kedatangannya di tempat itu. Ketujuh bidadari itu mulai curiga, karena setiap hendak mandi lagi, ada beberapa bunga yang hilang, bahkan tempat itu selalu bersih. Maka tiap kali mereka hendak turun mandi ke bulak itu, selalu membawa bunga warna-warni dari kayangan yang harumnya amat luar biasa.

Akhirnya ketujuh bidadari itu mengetahui bahwa yang sering melihatnya dan mengambil bunga-bunganya, serta membersihkan tempat itu adalah seorang nenek tua. Oleh karena si nenek tua itu dianggap tidak mengganggunya, maka para bidadari itupun tiada terlalu merisaukannya.

Bujang Mengkurung dan Nenek Tua
Kisah selanjutnya, disebuah dusun yang agak jauh dari talang nenek tua, hiduplah sepasang suami-istri yang sudah cukup tua dengan seorang anak bujangnya. Oleh karena keduanya sudah tua, maka sibujang itulah yang tiap harinya mencarikan makanan untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

Hampir tiap hari si bujang keluar masuk hutan berburu binatang, mengambil ubi-ubian, memancing ikan, serta mengambil kayu bakar. Pendek cerita si bujang itulah yang menjadi tumpuan harapan bagi orang tuanya. Oleh karena itu, si bujang itu lebih dikenal dengan nama Bujang Mengkurung.

Pada suatu hari pergilah Bujang Mengkurung itu masuk ke hutan hendak berburu binatang. Untung tak dapat diraih, malang pun tak dapat ditolak. Hari sudah menjelang senja, tetapi Bujang Mengkurung belum juga mendapatkan hasil buruannya. Biasanya sebelum matahari condong ke barat, Bujang Mengkurung sudah pulang ke rumah dengan membawa hasil buruannya.

Padahal, bekal makanan dan minum yang ia bawa itu sudah habis. “Sudahlah kepalang basah, lebih baik tak pulang ke rumah daripada belum menghasil buah,” guman Bujang Mengkurung. Si Bujang Mengkurung itupun berjalan terus dengan gontainya hingga sudah tidak tahu lagi arah rimbanya. Maka iapun tersesat di tengah belantara.

Namun keberuntungan masih berpihak pada Bujang Mengkurung, karena pada saat malam tiba ia menemukan sebuah talang. “Oi, beruntunglah aku ini dapat tempat untuk berteduh,” gumannya lirih sambil menghela napas panjang. Maka, segeralah Bujang Mengkurung mengetuk pintu talang itu. Tak seberapa lama kemudian, muncullah nenek tua itu sambil membawa lampu penerang yang terbuat dari bambu.

Setelah dipersilahkan masuk, Bujang Mengkurung itupun memperkenalkan diri, lalu menceritakan asal-usulnya hingga ia tersesat di talang nenek tua itu. Mendengar ceritera Bujang Mengkurung itu, nenek tua menjadi iba dan penuh haru. Maka dengan rasa tulus nenek tua itu memberi makanan serta minuman kepada Bujang Mengkurung.

Nenek Tua Buka Rahasia
Sungguhlah beruntung bagi Bujang Mengkurung, karena nenek tua itu telah memperlakukannya dengan ramah dan penuh kasih sayang. Bahkan Bujang Mengkurung telah dianggabnya sebagai cucunya sendiri. Maka merekapun saling berceritera tentang pengalaman hidupnya masing-masing.

Malam terus berjalan sesuai dengan kodratnya hingga menjelang larut. Tiadalah mungkin Bujang Mengkurung itu pulang ke rumahnya. Nenek tua itupun tak tega membiarkan Bujang Mengkurung pulang dilarut malam. Maka Bujang Mengkurung itupun berinap di talang nenek tua itu.

Sebenarnya, ketika Bujang Mengkurung itu memasuki talang nenek tua itu, ia telah mencium bau wewangian yang harumnya amat menusuk hidungnya. Oleh karenanya, Bujang Mengkurung tak dapat tidur dengan lelap. Bahkan sebentar-sebentar terjaga dari tidurnya karena semerbak bau wewangian yang luar biasa harumnya. Setelah mengamati sekitarnya, secara samar-samar, ia menatap tumpukan bunga-bunga yang beraneka warna.
“Barangkali bunga-bunga itulah yang mengeluarkan bau yang amat harum,” pikirnya dalam hati. Tetapi Bujang Mengkurung tidak berani menanyakan hal itu kepada nenek tua, karena malam telah berlarut.

Pada keesokan harinya, sebelum mohon diri, Bujang Mengkurung memberanikan diri menanyakan tentang bau harum serta hubungannya dengan bunga-bunga yang menumpuk dalam talang nenek tua itu. Mulanya, nenek tua itu agak enggan berceritera. Tetapi, setelah menatap Bujang Mengkurung yang penuh menghiba itu, maka diceritakanlah hal ikhwal tentang rahasia tumpukan bunga itu.

Bujang Mengkurung sangat tertarik sekali dengan ceritera nenek tua itu. Lebih-lebih ceritera tentang tujuh bidadari yang sering mandi di bulak pada tengah malam setiap bulan purnama yang keempat belas. Maka ia sangat berharap untuk dapat melihat ketujuh bidadari yang sering mandi itu. Bujang Mengkurung lalu mohon pamit, dan berjanji kelak akan datang lagi ke talang nenek tua jika hendak menjelang bulan purnama yang keempat belas.

Larangan Turun ke Bumi
Dikisahkan selanjutnya, di kayangan tempat tinggal bangsa dewa dan bidadari, sedang mengadakan persidangan istimewa. Oleh karena itu yang hadir dalam persidangan istimewa hanyalah para pucuk pimpinanan dewa saja. Adapun yang sedang dibahas adalah firasat datangnya hari buruk yang akan menimpa kehidupan di kayangan.

Pada akhirnya, dalam persidangan itupun telah dicapai kata sepakat, bahwa demi keselamatan kehidupan di kayangan, maka untuk sementara waktu penghuni kayangan tidak diperkenankan turun ke bumi. Jikalau ada dewa atau bidadari yang melanggar larangan tersebut, maka akan menanggung sendiri akibatnya.

Setelah mendengar keputusan para pucuk pimpinan dewa, maka gundah gulanalah rasa hati para bidadari itu. Terlebih-lebih ketujuh bidadari yang selalu turun ke bumi tiap bulan purnama tanggal keempat belas. Ketujuh bidadari itu kakak beradik. Adapun nama ketujuh bidadari itu masing-masing ialah:
Nawang Sasi,
Nawang Sari,
Nawang Lintang,
Nawang Dadar,
Nawang Langit,
Nawang Terang, serta si bungsu
Nawang Wulan.
Ketujuh bidadari kakak beradik itu amatlah sedih, karena tiada lama lagi bulan purnama tanggal keempat belas akan segera tiba. Dengan adanya larangan tersebut, maka mereka tidak dapat lagi turun ke bumi untuk mandi-mandi dan bersukacita.

Diantara tujuh bersaudara, yang paling sedih dan gundah gulana adalah Putri Lalan (panggilan akrab Nawang Wulan). Sebagai putri bungsu, Lalan memang sangat dimanja baik oleh kedua orang tuanya, maupun oleh kakak-kakaknya. Apa saja yang dikehendaki oleh si bungsu Putri Lalan itu, selalu dituruti oleh kedua orang tuanya.

Akan tetapi kali ini rupanya Putri Lalan amat sungguh kecewa. Sehari-hari kerjanya Putri Lalan hanyalah murung saja. Makan tiada hendak, diajak bermain pun menolak. Padahal keenam kakaknya itu sudah berusaha untuk menghibur dan membujuknya agar Putri Lalan mau makan serta tidak bermuram durja. Akan tetapi, Putri Lalan masih tetap menolak bujuk rayu dari keenam kakaknya.

Melanggar Larangan Dewa
Jikalau hati sudah terpikat, hasrat sudah menguat, beban hatipun terasa berat untuk meninggalkan hajat. Begitulah kiranya perasaan hati Lalan yang semakin menderita. Badannya pun semakin kurus, raut wajahnya yang dulu ceria pun kini terus memucat. Melihat si bungsu Lalan yang kian menderita, maka keenam kakaknya itupun mengadakan mufakat untuk menuruti apa yang menjadi kehendak adiknya itu. Maka segeralah keenam kakaknya itu mendekati Lalan.

"Duhai dindaku Lalan nan tercinta, sungguh nian keenam kakak ini tiada tega menatap dinda yang tiada berhenti menderita. Jikalau dinda terus bersedih, tentu kami berenam pun larut dalam kepedihan. Katakanlah dindaku, apa yang sesungguhnya dindaku kehendaki, maka pastilah kandamu berenam akan mendukungmu,” ujar Nawang Sasi yang mewakili saudara-saudara itu.

Mendengar ketulusan perkataan dari kandanya itu, maka berkatalah si bungsu Putri Lalan dihadapan keenam kakaknya; “Ya ayunda berenam nan baik budi, jikalau sungguh ayunda berenam hendak menuruti hasrat dinda, marilah kita bertujuh turun ke bumi. Sebab, dinda sungguh tiada bergairah hidup lagi, bilamana keinginan dinda ini tiada terpenuhi”.
Setelah saling bertatapan dengan penuh keharuan, keenam kakak-beradik itupun segera memeluk erat-erat si bungsu Putri Lalan secara bergantian. Ketujuh bidadari nan cantik jelita itupun bersepakat, seia sekata dan bertekad akan turun kebumi. Apapun akibat pelanggaran dari larangan para dewa itu, akan dihadapi bersama baik dalam duka nestapa maupun sukacita, dalam derita ataupun bahagia.

Turun ke Bumi
Hari berganti hari, waktu terus berlalu. Tak terasa bulan purnama tanggal empat belas pun menjelang tiba. Saat itulah yang ditunggu-tunggu oleh ketujuh bidadari itu untuk menuruti hasratnya. Perbekalan telah dipersiapkan, bunga-bunga kayangan pun tiada ketinggalan. Pertanda perjalanan menuju ke bumi hendak dimulai.

Setelah segala sesuatunya telah siap, maka ketujuh bidadari itupun segera turun ke bumi. Mereka bertujuh telah meninggalkan kayangan, melupakan pesan, serta melanggar larangan, demi mencapai tujuan, menuruti keinginan si bungsu Putri Lalan.

Tak seberapa lama kemudian, sampailah mereka ditempat tujuan. Bulak, tempat mandi-mandi dan bersukacita sudah dipelupuk mata. Hasrat dan kerinduan pun segera terlaksana. Ketujuh bidadari kakak-beradik itupun segera melepaskan pakaian terbangnya satu persatu.
Sebagaimana biasanya, Putri Lalan lah yang melepas pakaian terbangnya terlebih dahulu, lalu ditumpuki oleh pakaian kakak-kakaknya. Oleh karenanya pakaian Putri Lalan itu selalu berada paling bawah. Dengan demikian Putri Lalan lah yang paling duluan mandinya, dan selesainya pun paling belakangan. Mereka kemudian bersenang-senang menikmati mata air nan jernih, udara nan sejuk, serta pemandangan alam yang indah. Bunga-bunga kayangan pun bertaburan di sekitar pemandian, serta menyerbakkan bau wewangian yang harumnya sangat luar biasa.

Pakaian Terbang Putri Lalan Hilang
Jernih nian mata air rimba pegunungan, hawanya sejuk lagi nyaman. Siapapun gerangan yang datang, pastilah pantang untuk melupakan. Begitulah kiranya perasaan ketujuh bidadari yang sudah sering mandi di bumi. Terlebih si bungsu Putri Lalan yang sudah dimabuk kepayang, merindukan mata air rimba pegunungan.

Biasanya ketujuh bidadari nan cantik itu tiadalah berlama-lama mandinya. Tetapi, entah mengapa kali ini mereka begitu lama bersenang-senang, hingga tiada ingat lagi waktunya untuk terbang kembali ke kayangan. Dan biasanya pula, si bungsu Putri Lalan lah yang memberi isyarat untuk segera terbang kembali ke kayangan.

Malam semakin melarut hingga hampir fajar, ketujuh bidadari itupun menyadari akan waktunya. Tanpa menunggu isyarat dari si bungsu Putri Lalan, lalu bergegaslah mereka mengambil pakaian terbangnya. Oleh karena tumpukan pakaian Putri Lalan itu berada paling bawah, maka Putri Lalan lah yang paling belakangan mengambilnya.

Namun betapa terkejutnya si bungsu Putri Lalan, ketika melihat pakaian terbangnya sudah tidak tampak lagi. Pakaian si bungsu Putri Lalan telah hilang, sementara kakak-kakaknya sudah berpakaian terbang semua. Dilihatnya si bungsu Putri Lalan kebingungan mencari pakaian terbangnya, maka keenam kakaknya itupun segera ikut mencarinya. Setelah dicari kesana-kemari tiada hasilnya, maka menangislah ia tersedu-sedu. Keenam kakaknya pun turut meratapi nasib adiknya yang amat dicintai itu.

Perpisahan yang Mengharukan
Malang nian nasib si bungsu Lalan itu, karena telah kehilangan pakaian terbangnya. Isak tangisnya pun semakin menjadi-jadi. Sementara batas waktu kian mengejarnya karena fajar sudah hampir tiba. Sungguh, bagaikan buah simalakama, meninggalkan si bungsu Putri Lalan sendirian tiadalah sampai hati, Bertahan di bumi lama-lama pun tiadalah mungkin. Akan tetapi, merekapun harus memilihnya.

Setelah termenung agak lama, lalu berkatalah dengan lirihnya si bungsu Putri Lalan itu kepada keenam kakaknya; “Duhai kanda-kandaku tercinta, memang sudah suratan nasib dinda, tiadalah bijak kandaku berlama-lama, karena ayah-bunda pastilah kecewa. Biarlah dinda menanggung akibatnya, jikalau kelak telah tertebus dosa, niscaya kita dapat bersama lagi.” Mendengar perkataan si Bungsu Putri Lalan yang amat mengharukan itu, menjawablah salah seorang dari keenam kakaknya. “Ya adindaku yang amat kusayang, tiadalah tega ayunda meninggalkanmu seorang. Andaikan ku dapat meminjamkan baju terbang, tentulah nasibmu tiada malang.”

Merekapun saling berpelukan erat disertai tetesan air mata yang terus mengalir dengan derasnya. Tak seberapa lama kemudian, dengan hati yang pilu, keenam kakaknya itu pun lalu terbang meninggalkan Putri Lalan sendirian di tengah rimba belantara.

Si Pencuri Pakaian Terbang
Siapa sebenarnya yang mencuri pakaian terbangnya Putri Lalan (panggilan akrab Nawang Wulan). Pencurinya tiada lain adalah si Bujang Mengkurung. Rupanya, si Bujang Mengkurung itu sudah lama menunggunya, dan bersembunyi dibalik semak-semak.

Setelah diberitahu oleh Nenek Tua, tentang tempat pemandiannya para bidadari, maka timbullah hasrat hati si Bujang Mengkurung untuk melihatnya. Sejak pulang dari rumah nenek tua itulah ia menjadi seorang yang pemalas. Ia pun mulai jarang membantu kedua orang tuanya untuk menanam padi-padian, mencarikan ubi-ubian, berburu binatang, maupun memancing ikan.

Kedua orang tuanya menjadi terkejut melihat perubahan perangai anak tunggalnya itu. Kerjanya hanya menghitung hari dan bulan. Rupanya yang dipikirkan adalah menunggu datangnya bulan purnama. Maka. Berbulan-bulanlah ia memikirkannya. Bahkan ia sering termenung seorang diri di atas bebatuan.

Pada suatu ketika didekatilah si Bujang Mengkurung oleh kedua orang tuanya, kemudian bertanya; “Hai Jang, apakah gerangan yang dipikirkan, berharian di atas batuan, bermenung tanpa kawan. Kerja tak hendak, makan tak enak, tidur pun tak nyenyak”. Maka menjawablah si Bujang Mengkurung; “Memang benar apa kata Ayah bunda, maafkan beta lupa bekerja, karena menunggu bulan purnama. Jikalau purnama menjelang tiba, izinkan lah beta ke talang nenek tua”. Setelah mendengar jawaban dari anaknya, Ayah Bundanya pun menjadi maklum adanya.
Hari kian berlari, bulan pun silih berganti. Tak seberapa lama, tibalah saat yang dinanti-nanti. Tatkala bulan purnama hendak menjelang, Si Bujang Mengkurung pun berhati riang. Maka berpamitanlah kepada kedua orang tuanya untuk pergi berkelana.

Tak lama kemudian sampailah si Bujang Mengkurung di talang nenek tua itu. Oleh karena bulan purnama tanggal empat belas semalam lagi, maka Bujang Mengkurung itupun bermalam disana. Dan keesokan harinya, Bujang Mengkurung lalu ditunjukkan oleh nenek tua, tempat pemandian ketujuh bidadari itu.

Tepat tengah hari, sampailah mereka ke tempat tujuan. Setelah mengantar Bujang Mengkurung, nenek tua itupun segera kembali ke talangnya. Bujang Kesian kemudian mencari tempat untuk persembunyiannya.

Waktu terus berputar, malampun sudah menjalar. Dari balik semak belukar, sepasang mata terus mengincar. Perasaan mulai gusar, denyut jantung pun kian berdebar. Tiba-tiba muncul bola-bola sinar kian berpijar kian berbinar. Bagaikan sinarnya halilintar, seolah membakar alam sekitar. Badan kekarpun jadi gemetar, menatap sinar dari semak belukar. Tetapi dengan hati yang sabar, Bujang Mengkurung pun tak beranjak keluar.

Dibalik kemilaunya sinar cahaya, segeralah tampak wajah-wajah elok nan juwita. “Oi, rupanya ini yang namanya bidadri, indah nian mata memandangnya. Wuah, mereka sedang melucuti pakaiannya. Aduhai elok nian tubuhnya. Sungguh beruntung sekali jikalau dapat salah satu diantaranya. Tetapi bagaimana caranya? Barangkali aku harus mencuri pakaiannya,” gumannya dalam hati si Bujang Mengkurung dengan kedua matanya yang terus menatap.

Setelah berpikir sejenak , mulailah si Bujang Mengkurung itu merayap perlahan-lahan mendekati tumpukan pakaian ketujuh bidadari itu. Disaat ketujuh bidadari itu sedang terlena, si Bujang Mengkurung lalu mengambil salah satu pakaian yang paling bawah sendiri. Dan ternyata, yang diambil itu adalah pakaian bidadari Nawang Wulan (Putri Lalan). Setelah berhasil mengambilnya, lalu dimasukkan dalam bungkusan miliknya. Si Bujang Mengkurung pun segera menjauhi tempat pemandian bidadari itu, sambil memikirkan rencana selanjutnya.

Putri Lalan dan Bujang Mengkurung
Semenjak ditinggal terbang oleh kakak-kakaknya, Putri Lalan menjadi sebatang kara. Untuk menutupi tubuhnya yang hampir telanjang, dikumpulkannya kulit-kulit pohon yang lebar-lebar, serta tangkai-tangkai yang daunnya rimbun. Dengan hati yang pasrah Putri Lalan terus berjalan tanpa tahu arah dan tujuan. Belum seberapa lama berjalan, kaki Lalan sudah terasa kecapaian. Maklum, bidadari seperti Putri Lalan memang belum pernah berjalan sampai sejauh itu.
Setelah melepas kecapaian, Putri Lalan terus melanjutkan perjalanannya, dan tak seberapa lama kemudian, sampailah ia di rawa-rawa. Rupanya si Bujang Mengkurung sudah ada di tempat itu dengan santainya mengail ikan. Tanpa ragu-ragu, Putri Lalan pun segera mendekatinya, lalu bertanya; “Wahai tuan, sedang apakah gerangan yang tuan lakukan disini?” Dengan acuh tak acuhnya si Bujang Mengkurung itu menjawabnya; “Hamba sedang mengail ikan”. Lalan kemudian melanjutkan pertanyaannya; “Adakah tuan melihat pakaian terbang hamba?” Si Bujang Mengkurung itupun hanya menggelengkan kepala.

Oleh karena diliriknya Putri Lalan tiada berpakaian layak, maka disodorkannya sehelai kain. Putri Lalan pun segera menyambutnya dengan sukacita, seraya berkata; “Duhai tuan yang baik hati, tuan sudi memberikan kain ini kepada hamba. Sudah barang tentu hamba telah berhutang budi, dan rasanya hamba ingin sekali balasnya, tetapi tiada suatu apapun yang hamba miliki.” Mengkurung pun segera menyahutnya; “Ya tuan putri nan juwita sekali, tiadalah hamba menghutangkan budi. Tetapi kalau hendak balas memberi, berikanlah hamba sebuah cinta yang tulus hati.

Putri Lalan semula tiada menyangka arah perkataan Si Bujang Mengkurung. Setelah berpikir sejenak, Putri Lalan baru menyadari bahwa dirinya tidak punya pilihan lain, kecuali menyerahkan cintanya. Dan akhirnya Putri Lalan bersedia memberikan cintanya kepada Si Bujang Mengkurung itu.

Namun demikian, Putri Lalan mempunyai persyaratan yang harus dipenuhi oleh Si Bujang Mengkurung. Adapun syaratnya tidak terlalu berat. Pertama, jangan sekali-kali menyakiti hati Putri Lalan. Kedua, antara sepasang suami- isteri jangan menyimpan rahasia dan tak boleh membohongi. Mendengar persyaratan yang diajukan oleh Putri Lalan itu, Si Bujang Mengkurung pun menyanggupinya. Si Bujang Mengkurung berjanji tidak akan menyakiti hati Putri Lalan, dan juga tidak akan membohonginya.

Setelah saling berjanji, keduanya lalu saling bertatapan, dan segera berpelukan erat. Sejak saat itulah mereka saling menyayangi, mengasihi, dan mencintai. Bujang Mengkurung pun segera mengajaknya pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah Si Bujang Mengkurung, maka Putri Lalan segera memperkenalkan diri serta asal-usulnya. Mendengar penuturan Putri Lalan, maka kedua orang tua Si Bujang Mengkurung itupun menyambutnya dengan penuh kekaguman. “Sungguh beruntung sekali Bujang kita ini, pulang ke rumah membawa seorang bidadari,” bisik ayah Si Bujang Mengkurung kepada bininya. Ibu Si Bujang itupun balas membisik; “Ya, sebentar lagi kita akan punya menantu bidadari nan cantik jelita.”

Rupanya kedua orang tua Si Bujang Mengkurung telah sepakat untuk menikahkan anaknya. Tak lama kemudian, datanglah hari yang baik, maka Si Bujang Mengkurung dan Lalan segera dinikahkan. Oleh karena mereka hidup disebuah dusun yang terpencil, dan masih jarang penduduknya, maka upacara pernikahannya dilakukan dengan cara yang amat sederhana.
Putri Lalan pun akhirnya menjadi istri Si Bujang Mengkurung. Sebagai seorang istri, Putri Lalan selalu menunjukkan kesetiaannya kepada sang suami. Bahkan Putri Lalan terkesan amat rajin mengerjakan segala macam pekerjaan rumah. Kerjanya antara lain, membersihkan rumah, menyapu halaman, mencuci, dan memasak. Semua pekerjaan dilakukan dengan sungguh-sungguh dan rasa tulus.

Melihat Putri Lalan yang tiap hari rajin membersihkan rumah, maka Si Bujang Mengkurung pun menjadi was-was. Takut kalau-kalau pakaian terbang yang disembunyikannya di kuda-kuda (langit-langit) di atap rumahnya itu diketemukan oleh istrinya. Oleh karena itu setiap Bujang Mengkurung hendak pergi ke ladang, selalu berpesan agar jangan membersihkan langit-langit atap rumah. Putri Lalan pun selalu menurut apa yang dipesankan oleh suaminya tanpa rasa curiga sedikitpun.

Waktu terus saja berlalu, bulanpun semakin cepat berjalan. Tak disadari jalinan cinta mereka telah membuahkan hasil. Ternyata perut Putri Lalan telah menunjukkan tanda-tanda kahamilan. Dilihatnya perut Putri Lalan telah mengandung, maka giranglah hati Si Bujang Mengkurung. Demikian pula ayah-bundanya.

Setelah berjalan sembilan bulan sepuluh hari, maka lahirlah seorang anak laki-laki yang mungil. Suami-istri serta kedua orang tua Si Bujang Mengkurung segera menyambutnya dengan sukacita. Setelah dimandikan dan di bersihkan, bayi laki-laki yang mungil dan lucu itupun segera disusuinya, serta dibelainya dengan penuh kasih sayang. Si Bujang Mengkurung dan kedua orang tuanya pun juga sering menimang-nimang serta membuainya secara bergantian.

Rahasia Terbongkar
Semenjak Lalan menjadi seorang ibu, pekerjaan Putri Lalan semakin bertambah banyak. Selain memasak, mencuci pakaian, melayani suami, dan membersihkan rumah serta pekarangan, juga masih merawat, mengurus, dan membesarkan anak. Namun demikian, tiada menjadikan Putri Lalan sebagai seorang ibu yang malas, bahkan Putri Lalan semakin rajin kerjanya. Akan tetapi setiap akan membersihkan langit-langit rumah, selalu dilarang oleh Mengkurung. Padahal langit-lagit rumah itu semakin kotor, karena tidak pernah dibersihkan.

Lama-kelamaan perasaan Putri Lalan menjadi semakin tidak enak, bahkan kian bertambah curiga kepada suaminya. Ia pun sering bertanya-tanya dalam hati. Adakah gerangan yang disembunyikan, jangan-jangan ada sesuatu hal yang dirahasiakan oleh suamiku. Bukankah suamiku pernah berjanji untuk tidak menyakitiku? Pikirnya dalam hati. Sepandai-pandainya tupai melompat, pada akhirnya akan jatuh jua. Serapat-rapatnya rahasia tentang kejahatan, suatu ketika akan terbongkar juga dengan sendirinya.

Pada suatu hari, tatkala Si Bujang Mengkurung sedang ada di ladang, tiba-tiba timbul niat untuk membersihkan langi-langit rumah yang amat kotor itu. Maka, segeralah Putri Lalan mengambil tangga untuk naik ke langit-langit rumah. Setelah tangga itu dipasang, lalu naiklah ia sambil membawa sapu lidi. Beberapa saat kemudian sampailah Putri Lalan di atap rumah. Maka mulailah ia membersikan seluruh debu dan kotoran yang menempel di langit-langit rumah itu. Ketika Putri Lalan sedang menyapu di bagian kuda-kuda (kaki penyangga langit-langit rumah) terlihatlah olehnya seberkas bola sinar yang berpijar amat terang.

Putri Lalan terkejut sekali, bahkan hampir saja terjatuh. Setelah didekati dan diperiksa dengan penuh hati-hati, ternyata hanyalah sepotong bambu besar yang panjangnya sekitar satu lengan. Tetapi bambu itu sangat aneh karena memancarkan sinar yang amat terang.

Oleh karena rasa penasaran ingin tahu isinya, maka bambu itupun segera dibukanya. Betapa terkesimanya Putri Lalan, karena isinya ternyata sehelai pakaian terbangnya yang telah hilang tak tertentu rimbanya. Seketika raut wajahnya yang semula agak pucat itu telah berubah menjadi ceria. Pakaian terbangnya itu segera dipegangnya erat-erat, lalu segera dibawanya turun. Kemudian bergegas ia menyembunyikan pakaian terbangnya itu. “Tiada sangka aku bisa menemukan pakaian terbangku kembali. Inilah rupanya rahasia yang disimpan oleh suamiku,” gumannya dalam batin.

Tak lama kemudian pulanglah Si Bujang Mengkurung dari ladangnya. Seperti biasanya, Putri Lalan pun segera menyiapkan makanan untuknya. Hal itu sengaja dilakukan agar suaminya tiada menaruh curiga kepadanya. Pada saat itulah Putri Lalan sengaja mencoba mengutarakan keinginannya lagi untuk membersihkan langit-langit rumah. Tetapi Bujang Mengkurung masih tetap melarangnya. Ketika Putri Lalan menanyakan sebab musababnya, tiba-tiba Bujang Mengkurung sangat marah dan membentaknya keras-keras.

Putri Lalan yang belum pernah diperlakukan kasar seperti itu, lalu menangis tersedu-sedu, seraya berucap ; “Mengapa kanda tega membentak dinda yang selalu setia, bukankah kanda pernah berjanji takkan menyakiti hati dinda”? Bujang Mengkurung pun membalasnya; “Jikalau dinda tiada memulai, tentu kandapun tiada memarahi. Maka kanda ingatkan, jangan lagi dinda menanyakan apa yang aku larangkan.

Mendapat jawaban yang tak diharapkan itu, hati Lalan semakin remuk redam. Namun demikian Putri Lalan masih merahasiakan hasil temuannya. Putri Lalan hanya ingin menguji sampai dimana ketulusan dan kejujuran suaminya itu. Oleh karena dinilainya sudah tidak jujur dan tulus lagi, maka Putri Lalan berniat akan meninggalkannya.

Sejak kejadian itulah tiba-tiba Putri Lalan jadi rindu kepada Ayah Bundanya, serta kakak-kakaknya di kayangan. “Barangkali memang sudah tertebus dosa-dosa hamba, maka sudah saatnya pula hamba harus kembali ke kayangan,” tekadnya dalam hati. Pada keesokan harinya, setelah Bujang Mengkurung pergi berladang, Putri Lalan pun mempersiapkan diri, hendak meninggalkan sang suami. Baju terbangnya telah disandang, anaknya pun digendong belakang. Maka segeralah ia menemui Si Bujang Mengkurung yang sedang berladang.

Bujang Mengkurung pun terkejut melihat Putri Lalan datang dengan memakai baju terbangnya sambil menggendong anaknya. Belum sempat Bujang Mengkurung bertanya, Putri Lalan pun telah mendahului berkata; “Wahai Kanda tersayang, kini tibalah saatnya perpisahan. Dinda bersama anakanda hendak kembali ke kayangan, meninggalkan kanda seorang. Jikalau Kanda kelak rindu nian, pandanglah saja dari kejauhan, karena dinda berdua dalam rembulan.” Putri Lalan pun segera terbang pelan-pelan, meninggalkan Bujang Mengkurung.

Setelah dilihatnya Putri Lalan terbang bersama anaknya, maka menjeritlah keras-keras Si Bujang Mengkurung: “Lalaaan beleeek! Lalaaan beleeek! Lalaaan beleeek! ( belek artinya kembali).

Kembali ke Kayangan
Ceriteranya, tatkala keenam kakak-kakak Putri Lalan itu sampai di kayangan, maka segeralah mereka berenam menghadap Ayah Bundanya. Apapun yang akan menimpanya, mereka sudah pasrah dan siap menerima hukuman. Keenam kakak beradik itu telah memaklumi, bahwa kasih sayang Ayah Bundanya terhadap si bungsu Putri Lalan amatlah sangat mendalam. Oleh karenanya, merekapun tentunya mendapat marah dan hukuman yang berat.

Benarlah apa yang telah mereka ramalkan berenam. Setelah mendengar cerita keenam anaknya, dan tidak melihat Putri Lalan di hadapannya, maka terkejutlah Ayah Bundanya. Bahkan karena amat sayangnya, Bundanya pun terus jatuh pingsan tak sadarkan diri. Sedangkan Ayahandanya meluapkan amarahnya kepada mereka berenam. Kemudian mereka berenam tidak diperbolehkan masuk rumah, hingga adiknya Putri Lalan kembali lagi ke kayangan.

Maka sejak itulah, keenam kakak beradik pun hidupnya terlantar. Kerjanya tiap hari hanya termenung sambil berdendang pilu, meratapi si bungsu Putri Lalan yang amat dicintainya. “Oi, Putri Lalan belek ne asoak, tumitne awea teno desoak”, begitulah dendang pilunya keenam kakak Putri Lalan.

Mereka sangat menyesal karena telah menuruti keinginan adiknya yang ternyata berakibat sangat fatal. Apa gunanya penyesalan, jikalau sudah kejadian. Padahal para dewa telah membuat larangan, itulah akibat dari pelanggaran.

Setelah sekian tahun lamanya, tiba-tiba Putri Lalan muncul dihadapan kakaknya. Mereka terperanjat melihat si bungsu Putri Lalan kembali dengan menggendong anak di belakangnya. Oleh karena sudah menanggung rindu yang amat mendalam, maka merekapun segera menyambutnya dengan sukacita, serta saling berebut duluan untuk memeluk putri Lalan erat-erat.

Keenam kakaknya itu kemudian berlari menghadap Ayah Bundanya, seraya berteriak dengan kerasnya; “nek inok! Putri Lalan belek! Putri Lalan belek, nek inok! Putri Lalan belek! Putri Lalan belek! (Ayah- Bunda! Putri Lalan pulang ! Putri Lalan pulang ! nek inok! Putri Lalan pulang ! Putri Lalan pulang !). Setelah melihat kembali si bungsu Putri Lalan yang telah lama menghilang, maka kedua Ayah Bundanya pun menyambutnya dengan girang bercampur haru.


Diceritakan kembali oleh :
Agus Setiyanto Z

source:rejang-lebong.blogspot.com

Wilayah Kediaman Sukubangsa Rejang Sekarang


[1.jpg]
[2.jpg]
[3.jpg]
[4.jpg]
[5.jpg]
[8.jpg]
[9.jpg]
[10.jpg]
[11.jpg]
[12.jpg]

Source :

Author Name: Siddik, Abdullah, 1913-

Title: HUKUM ADAT REJANG

Binding: Paperback
Book Condition: Very Good with no dust jacket
Publisher: Jakarta Balai Pustaka 1980

Seller ID: 19518

15 x 21 cm.; pg. 392; Bibliography, index. Text in Indonesian. ;

Adat Law -- Indonesia

http://www.alibris.com/search/books/qwork/3040988/used/Hukum%20adat%20Rejang
Price = 25.00 USD

thank to:rejang-lebong.blogspot.com

Asal Mula Nama Desa Du Atei - Desa Rindu Hati

Konon katanya di Desa Rindu Hati ini adalah keturunan para raja dari Raja Sungai Serut. Awal dari semua ini karena Putri Dayang Perindu melarikan diri dari Muara Bengkulu ke Hulu Sungai (yang berada di Desa Rindu Hati saat ini). Sang Putri melarikan diri karena tidak mau dijodohkan dengan para raja yang berasal dari Aceh. Setelah melarikan diri, sang kakak dan beberapa orang kerajaan menyusul keberadaan putri ke hulu sungai. Sebelum menyusul sang putri, sang putri sempat memberikan pesan yaitu “jika ingin menyusulnya, bawalah satu ekor ayam dan satu ekor burung terkukur. Jika ayam dan burung tersebut berbunyi, berhentilah disitu dan buatlah desa. Saya akan tinggal disitu”. Ayam dan burung tersebut berbunyi ketika mereka sampai dilokasi Desa Rindu Hati sekarang. Disitulah mereka membuat desa. Dan Itulah awal mula Desa Rindu Hati.

Alur kisah asal mula desa du atei (baca duwatei = rindu hati) ini juga cocok dengan kisah yang di tulis pada litelatur- litelatur lama yang mencatat tambo dan sejarah Bangkahoeloe. Selain itu masih banyak dijumpai penduduk asli dengan nama depan Sutan.


Di desa ini kita bisa menikmati jernihnya air sungai yang mengalir dengan tenang. Seakan air ini sangat senang berada di desa tersebut. Pagi yang cerah saat itu. Suara burung yang ribut membuat suasana pagi ini serasa lengkap. Masyarakat desa sudah mulai satu persatu berangkat ke ladang dan ke sawah yang berada tak jauh dari desa. Menyebrangi sungai yang ada dibelakang desa. Berjalan kaki tanpa alas kaki mengikuti jalan setapak yang berada disepanjang sungai. Terlihat sekali mereka hidup sangat harmonis dengan air sungai yang ada disana.

Di Desa Rindu Hati yang mayoritas penduduknya adalah Suku Rejang ini terdapat 6 anak sungai dan mungkin puluhan atau ratusan mata air. Anak-anak sungai yang ada ini akhir menyatu ke sungai besar yang ada di hulu kampung, yaitu Sungai Bengkulu.

Berada didesa Rindu Hati memang sangat menyenangkan. Selain suasana kampung yang masih asli juga terdapat sawah yang menghijau dengan dilatar belakangi oleh bukit-bukit. Desa ini memang berada di lembah didataran tinggi Bengkulu.

Namun kini, desa yang sangat indah dan khas sekali nuansa alaminya itu berubah. Desa ini mengalami ancaman kerusakan lingkungan. Pembabatan hutan sekitar, pembangunan rumah rumah batu permanen oleh penduduk yang sedang marak, tanpa memikirkan tata letak lingkungan,pengrusakan DAS (daerah aliran sungai) dengan alasan kemajuan dan modernnya zaman benar benar satu alasan yang gak bisa di terima. Dan kini penduduk mulai menuai dampak kerusakan lingkungannya. Desa yang dahulunya tak pernah banjir, kini kerab kali menerima banjir kiriman saat musim hujan tiba.

Kerinduan anak rantau saat pulang ke desa ini hanya bisa menyesali, karena gak tahu siapa yang bertanggung jawab mengatur semua ini di desa. Apakah pemda setempat berperan atau merestui pengrusakan lingkungan perlahan lahan di hulu sungai ini?

Kini sejak terbentuknya kabupaten baru yaitu Bengkulu Tengah, mau tak mau desa rindu hati masuk ke wilayah kapubaten baru ini lepas dari kabupaten semula yaitu Bengkulu Utara. Apakah nasib desa Rindu Hati yang sarat dengan makna sejarah Kerajaan sungai serut di masa lalu di biarkan hilang begitu saja? Apalagi di desa ini ada Situs Makam yang di keramatkan oleh masyarakat setempat yang kemungkinan besar berhubungan dengan Kerajaan Sungai Serut di masa lalu.

source:rejang-lebong.blogspot.com

“Nundang Binieak”, Gong Turun ke Sawah Serentak di Lebong

Oleh :Achmad Zulkani (Pernah dimuat di Harian Kompas)

Ujang Syafarudin (69) membakar kemenyan seukuran jempol jari orang dewasa. Asap wangi kemenyan memenuhi ruangan besar di sebuah rumah tua di Muara Aman, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu. Apa yang dilakukan merupakan prosesi ritual budaya yang dalam bahasa Rejang disebut Nundang Binieak yang turun-temurun dilakukan sejak berabad silam. Nundang Binieak dalam bahasa sehari-hari bisa diartikan sebagai mengundang bibit.


Mulut tetua adat Muara Aman itu tampak komat-kamit membaca doa dan mantra. Doa untuk para leluhur dan semua warga Rejang, intinya agar Yang Mahakuasa memberikan keselamatan dan melindungi tanaman padi yang bakal ditebar.

Persis di depan Syafarudin tergeletak seonggok benih padi berbalut kain putih. Benih sekitar 2,5 kaleng atau setara 10 kilogram ini sebelumnya dibasahi air dan dicampur tujuh macam ramuan ”obat” tradisional, antara lain jeruk nipis, daun cekrau, daun kumpei, satu kilogram rebung bambu gading (bambu kuning), kunyit busuk, 20 buah pinang dan kendur. Semua dipotong kecil-kecil dan diramu menjadi satu dengan benih padi tersebut. Benih ini terdiri atas inti berasal dari tujuh tangkai padi hasil panen tahun sebelumnya yang disimpan khusus, dicampur dengan benih padi bantuan pemerintah.

Beberapa saat kemudian, Syafarudin membuka kain putih penutup onggokan benih padi itu. Ia mengambil air kelapa muda hijau dengan setangkai daun sidingin (juga ramuan obat tradisional). Air kelapa muda itu dipercikkan ke tumpukan benih padi sampai kelihatan basah.

Prosesi ritual budaya itu lantas ditutup dengan doa selamat dan makan bersama oleh semua yang hadir. Hidangannya berupa nasi puncung dengan dua ayam matang utuh yang ditaruh di atas talam. Ayam itu juga bukan sembarangan, tetapi harus ayam putih dan biring, yakni seekor ayam warna kuning keemasan baik kaki maupun bulunya. Ayam harus utuh, tidak dipotong-potong layaknya hidangan biasa.

Seusai makan bersama, warga yang hadir dibekali sejumput benih yang sudah diramu untuk dicampur dengan benih yang disiapkan di rumah masing-masing. Sebaliknya, warga yang tidak datang akan diberi, sampai semua petani kebagian.

”Nundang Binieak adalah ritual adat budaya turun-temurun sejak berabad-abad silam di Lebong,” kata Syafarudin.

Muara Aman, sebuah kota kecil tua berhawa sejuk di lembah hutan Taman Nasional Kerinci Seblat, sekitar 165 kilometer dari Bengkulu. Kota yang kini menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Lebong itu dihuni mayoritas etnis Rejang, etnis yang memiliki bahasa dan tulisan sendiri. Nilai-nilai adat dan budaya tradisional Rejang sampai sekarang masih dijunjung tinggi masyarakat setempat.

Cegah hama

Kenapa Nundang Binieak harus dilakukan? Menurut Syafarudin, di era modern sekarang tradisi yang sangat diyakini dan dipatuhi etnis Rejang di Muara Aman itu mungkin ditanggapi beragam oleh orang luar. Tetapi, bagi warga Rejang di Muara Aman, ritual ini diyakini bisa ”memagar” tanaman padi agar tak diganggu hama penyakit.

”Semua ramuan yang diaduk dengan benih padi ada artinya. Rebung bambu kuning misalnya, selama ini mampu mencegah tanaman padi di sawah dari serangan hama tikus. Kendur dan kunyit busuk diyakini dapat mengusir hama kutu seperti walang sangit. Jadi, ramuan itu bukan asal saja, tetapi diambil dari tumbuhan yang dipakai sebagai obat tradisional oleh masyarakat Rejang,” tutur Syafarudin.

Bagaimana kalau ritual Nundang Binieak ditinggalkan? Sembari menghela napas dalam-dalam, Syafarudin menyatakan, orang di luar etnis Rejang mungkin akan berkomentar beragam. ”Ini hanya sekadar tradisi, ritual adat dan budaya Rejang warisan nenek moyang sejak berabad-abad. Prosesi ritual ini lazimnya selalu menjelang turun ke sawah. Jika ada warga atau petani di Lebong tidak percaya ritual ini, silakan saja. Tidak ada pemaksaan, tergantung keyakinan masing-masing,” katanya.

Dua petani di Lebong, Amirul Mukmin (48) dan Khadijah (60), melukiskan, musim tanam tahun lalu ada petani yang tidak hirau dengan Nundang Binieak. Mereka turun ke sawah dan menanam padi tanpa menunggu prosesi ritual ini. ”Nyatanya, waktu itu sebagian besar tanaman padi di Lebong gagal panen. Hama tikus dan walang sangit mengganas. Apakah meluasnya hama saat itu ada hubungan atau tidak dengan ditinggalkannya tradisi ini, ya terserah orang mengartikan,” kata mereka.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bengkulu mencatat, musim tanam tahun 2007 tingkat keberhasilan panen di Lebong memang sangat rendah. Dari sekitar 3.600 hektar areal sawah yang ditanami warga, lebih dari 50 persen gagal panen karena diserang hama tikus.

Syafarudin menambahkan, sekarang tradisi ini sebetulnya sangat relevan. Dalam konteks kekinian, Nundang Binieak sama dengan gong atau ketok palu agar petani turun serentak ke sawah. Biasanya, warga tidak peduli kalau hanya diimbau pejabat pertanian. Tetapi, jika aba-aba turun ke sawah datang dari tetua adat, semua akan patuh.

Selain itu, kalau semua areal sawah digarap, tanam serentak, biasanya tikus tidak mengganas. Memang masih ada gangguan hama, tetapi tidak seganas kalau tanam tidak serentak. ”Logikanya sangat sederhana. Kalau semua areal sawah di hamparan luas digarap, pasti tikus kesulitan bersarang. Hama ini akan lari ke hutan. Jadi, dalam konteks kini sepertinya sangat cocok,” ujar Syafarudin dan Amirul Mukmin.

Kearifan lokal masyarakat Rejang ini sejatinya tidak bertentangan dengan program pemerintah. Pesan-pesan moral dari leluhur yang diwujudkan dengan tradisi seperti Nundang Binieak di Rejang barangkali tidak ada salahnya dilestarikan. Buktinya, setelah ritual itu, ribuan petani Lebong kini ramai-ramai turun serentak ke sawah….

source: http://zulkaniahmad.blogspot.com

Burung Empat (Rejung : Sastra Daerah Rejang)

Bepatun burung empat,
Sebepatun dengan patun,
Bepatun lah burung elang,
Lamun senulo burung elang,
Elang terbang melayang mgeser bumi,
Muge ke langin langit ndak sape,
turun kebumi,
Upan segengam sukar makan,
Muge kelangit air setitik aus seminum,
Laju kesingen tumanak awan kasa,
Kesian lapule burung elang,
Amun awat betake malang,
Awat betake malang nian,
Patun kedue dengan patun,


Bepatun burung punguk amun senulo burung punguk,
Punguk merindu bulan,
Bulan tu idak merindu,
Badan tubuh, menagislah burung punguk Amun awat betake malang,
Awat betake malang nian,
Kasianlah pule burung punguk,
Patu ketige dengan patun patun burung tiung,
Lamun senulo burung tiung,
Tiung besarang selenger pungur,
Tiung merap pungur rebah,
Rambai sayap terbang layang,
Pendek sayap terbang sayup,
Laju terbang lamur rayam,
Menagis burung tiung,
Amun awat betake malang,
Awat betake malang nian,
Patun keempat dengan patun.


Bepatun burung sawi,
Lamun senolu burung sawi,
Setaun berujut, sebulan berajat,
Uju diwe putih kuning,
Ujud duate jarang panau,
Kasianlah pule burung sawi,
Lamun awat betake malang,
Awat betake malang tune,
Serguni ditanam mati,
Sergaju ditanam layu,
Cendawan tangkap lepas dari tangan,
Sergujung di pijak lari,
kasian lapule burung sawi.

Ditulis pada 23 Nopember, 2007 oleh Akar
(Dikutip oleh Team AMARTA dari Bapak Salim Senawar Desa Tapus)
Seni Sastra Suku Rejang Tapus

Siyen Kutai (Serambeak : Sastra Daerah Rejang)

Lamun hari tukinang hari,
Hari tukinang sedang hari tinggi,
siamang tu sedang redawe,
Kelik sedang pekik rami,
Angin sedang gugur daun,
Gururlah daun remacang mudo,
Gugur daun repinang mudo,
Lubuk sedang begenjo ijo,
Ratu sedang bebayang kuning,
Becalang mudik milir,
Bibik sedang laburan jemur,
Bujang juare sedang mericik tue ayam,
Bujang gadis rau ketenun,
Ilanglah lading pertas tenun,
Ilang penyukit duri ladak,
Baru teringet kepade pesan.


Ado pesan Wong Tue dulu Ade,
Lamun rejung kenyen suatu,
Rejung madak laut lepas,
Lekap genap nuli redanan,
Riau rindau uli pekakas,
Gereng kemas dede piagus,
Dedereng pengiran demak rauh,
Amun be upi itu pinang idak beupi itu nibung amun betuli itu kudang,
Idak betuli kudang badung,
Kunang kauren nian datang,
Kundang kurindu nian siba,
Namun muga, muga kerumo,
Warang kerume keberuge,
Tilik lah tetang wong desa,
Lamun nak culo culo lah lage,
Culo lage mato reganding,
Nak culo nage nage ke laut,
Mato regading liman di hutan,
Kabar ndak meruge adat care sirih pinang,
Adat care pinang sukar di rube,
Lamun segalenye kurang dari tubuh.


Lamun diwe bertulung duate berbatu,
Wong pisak pacak bapit,
Baring miskin pacak kaye,
Amun diwe idak bertulung,
Wong pisak tame pisak,
Bareng miskin lame miskin,
Takele dina tekale, Tekale dina maso itu,
Betung betulis dengan tulisan awur bersurat dengan suratan,
Epe ditulis dengan betung,
Ape disuret oleh aur,
Tiran ulung layang putiak,
ado disano,
Tiran ulung pandai membace,
Layang putiak pandai menyurat,
Laju bepesan burung piran ulung,
Amun cikundu ngadap keteluk,
Besok kundu sare tangungan,
Kundu menengah jarang balik,
Patah kundu hilang di ratau,
Abung cerite lamun jauh,
Besaklah ikan lamun luput,
Ayam betabang senimar elang.


Ikan dipangang tingal tulang,
Igak berigak padi masak,
Igak beragam badan tue,
Igak bedindang biduk anyut,
Bepesan kedue dengan pesan,
Pesan burung layak putiak,
Besili batu asah,
Gerenget tukanglah tibo,
Idak ulah cari ulah, Idak ban batu digale,
Rumah ado cari podok,
Lamun orang pemanyek mati jatuh,
Orang pedingin mati anyut,
Orang peibo ilang seurang,
Tang tilik lah tang,
Tiliklah tang desa ninik mamak disini, Desa serut laman sunyi,
Desa digepung oleh betung,
Desa disindang olih lalang,
Rumah berarik tiang serik,
Satu adak tiang duduk,
Peratin kurang perite,
Bujang gadis kurang pengunyung.
Selebar ringgit sepangung,
Gadis iluk nungu beruge,
Sude digepung dengan ringgit,
Sude disindang dengan redai,
Ade anak bujang lumang,
Kerimbo tenang,
ndak merayap ke rimbo bano merang ke rimbo alas,
Anak bujang kerimbo tenang.


Ibarat batu gulek idak beseding,
batu pat dilipat jadi tige,
Anak bujang kerimbe tenang naik tebing turun tebing,
Naik gunung turun gunung,
Nempuh hujan dengan panas,
Idak tentu malam dengan siang,
Malam peduman bulan bitang,
Siang peduman mate hari,
Anak bujang lumang kerimbe tenang betemu petemuan,
Temu endapat pendapatan, Temu telur kanyen sebiji,
Telu senayak seninang,
Senayak di ujung jari,
Senindang di hati tangan,
Stabik ucap sepakat,
Telur digengam rapat-rapat,
Meretas menjadi burung empat,
Se bename burung elang,
Due bename burung pungguk,
Tige bename burung tiung,Empat bename burung sawi.



Ditulis pada 23 Nopember, 2007 oleh Akar
(Dikutip oleh Team AMARTA dari Bapak Salim Senawar Desa Tapus)
Seni Sastra Suku Rejang Tapus

Rejang architecture : Old House at Tes,Lebong Regency



This is one of the typical home of Rejang people, located at Tes,Lebong Regency

Rejang Folk Tale : Putri Sedaro Putih - Asal Mula Pohon Enau ( Sedaro Putih Princess - The story of sugar palm tree )

Pohon Sedaro Putih atau di kenal dengan Pohon Enau di desa Cawang Baru , Curup Timur, Tanah Rejang

Cerita rakyat : Suku Rejang
(Bengkulu, Sumatera bagian Selatan)

Cerita ini berasal dari Suku Rejang. Dahulu di sebuah desa terpencil hidup tujuh orang bersaudara.Nasib mereka sungguh malang,mereka sudah menjadi yatim piatu semenjak si bungsu lahir.Tujuh saudara itu terdiri dari enam orang laki-laki dan seorang perempuan.Si bungsu itulah yang perempuan.Namanya putri sedoro putih.Tujuh orang bersaudara itu hidup sebagai petani dengan menggarap sebidang tanah di tepi hutan.Si bungsu sangat disayangi keenam saudaranya itu.Mereka selalu memberikan perlindungan bagi keselamatan si bungsu dari segala macam marabahaya.Segala kebutuhan si bungsu mereka usahakan terpenuhi dengan sekuat tenaga.

Pada suatu malam,ketika putri sedoro putih tidur,ia bermimpi aneh.Ia didatangi seorang laki-laki tua."Putri Sedoro Putih,kau ini sesungguhnya nenek dari keenam saudaramu itu.Ajalmu sudah dekat,karena itu bersiaplah engkau menghadapinya".
"Saya segera mati?" tanya Putri Sedoro Putih dengan penuh penasaran.
"Benar,dan dari pusaran kuburanmu, nanti akan tumbuh sebatang pohon yang belum pernah ada pada massa ini.Pohon itu akan banyak memberi manfaat bagi umat manusia." Setelah memberi pesan demikian lelaki tua itu , lenyap begitu saja. Sementara Putri Sedaro Putih langsung terbangun dari tidurnya.Ia duduk termangu memikirkan arti mimpinya.

Putri sedaro putih sangat terkesan akan mimpinya itu, sehingga setiap hari ia selalu terbayang akan kematiannya. Makan dan minum terlupakan olehnya. Hal ini mengakibatkan tubuhnya menjadi kurus dan pucat. Saudara sulung sebagai pengganti orang tuanya sangat memperhatikan Putri Sedoro Putih. Ia menanyakan apa sebab adiknya sampai bersedih hati seperti itu. Apakah ada penyakit yang di idapnya sehingga perlu segera di obati ? Jangan sampai terlambat diobati sebab akibatnya menjadi parah .

Dengan menangis tersedu-sedu Putri Sedoro Putih menceritakan semua mimpi yang dialamainya beberapa waktu yang lalu.
Kata sedaro putih,"Kalau cerita dalam mimpi itu benar, bahwa dari tubuhku akan tumbuh pohon yang mendatangkan kebahagiaan orang banyak, aku rela berkorban untuk itu."
"Tidak adiku, jangan secepat itu kau tinggalkan kami. Kita akan hidup bersama, sampai kita memperoleh keturunan masing-masing sebagai penyambung generasi kita. Lupakanlah mimpi itu. Bukankah mimpi sebagai hiasan tidur bagi semua orang ?", kata si sulung menghibur adiknya.
Hari-hari berlalu tanpa terasa. Mimpi itu pun telah dilupakan. Putri Sedoro Putih telah kembali seperti sempula, seorang gadis periang yang senang bekerja di huma. Hasil panen pun telah dihimpun sebagai bekal mereka selama semusim.

Pada suatu malam, tanpa menderita sakit terlebih dahulu Putri Sedaro Putih meninggal dunia. Keesokan harinya, keenam saudaranya menjadi gempar dan meratapi adik kesayangannya itu. Mereka menguburkannya tidak jauh dari rumah kediaman mereka.

Seperti telah diceritakan oleh Putri Sedoro Putih. Di tengah pusaranya tumbuh sebatang pohon asing. Mereka belum permah melihat pohon seperti itu. Pohon itu mereka pelihara dengan penuh kasih sayang seperti merawat Putri Sedaro Putih. Pohon itu mereka beri nama Sedaro Putih.

Disamping pohon itu, tumbuh pula pohon kayu kapung yang sama tingginya dengan pohon Sedaro Putih. Pohon itu pun dipelihara sebagai pohon pelindung .

Lima tahun kemudian. Pohon Sedaro Putih mulai berbunga dan berbuah. Jika angin berhembus, dari dahan kayu kapung selalu memukul tangkai buah Sedaro Putih sehingga menjadi memar dan terjadilah peregangan. Sel-sel yang mempermudah air pohon Sedaro Putih mengalir ke arah buah.

Pada suatu hari, seorang saudara Sedaro Putih berziarah ke kuburan itu. Ia beristirahat melepaskan lelah sambil memperhatikan pohon kapung selalu memukul tangkai buah pohon Sedaro Putih ketika angin berhembus. Pada saat itu, datang seekor tupai menghampiri buah pohon Sedaro putih dan menggigitnya sampai buah itu terlepas dari tangkainya. Dari tangkai buah yang terlepas itu, keluarlah cairan berwarna kuning jernih. Air itu dijilati tupai sepuas -puasnya. Kejadian itu diperhatikan saudara Sedaro Putih sampai tupai tadi pergi meninggalkan tempat itu.

Saudara sedaro putih mendekati pohon itu. Cairan yang menetes dari dari tangkai buah ditampungnya dengan telapak tangan lalu dijilat untuk mengetahui rasa air tangkai buah itu. Ternyata, air itu terasa sangat manis. Dengan muka berseri ia pulang menemui saudara-saudaranya. Semua peristiwa yang telah disaksikannya, diceritakan kepada saudara-saudaranya untuk dipelajari. Cerita itu sungguh menarik perhatian mereka.

Lalu mereka pun sepakat untuk menyadap air tangkai buah pohon sedaro putih. Tangkai buah pohon itu dipotong dan airnya yang keluar dari bekas potongan ditampung dengan tabung dari seruas bambu yang disebut tikoa. Setelah sutu malam, tikoa itu hampir penuh. Perolehan pertama itu mereka nikmati bersama sambil berbincang bagaimana cara memperbanyak ketika berziarah ke kubur putri sedaro putih.


Tikoa tabung yang di buat dari seruas bambu untuk menampung air nira

Urutanya sebagai berikut. Pertama, menggoyang goyang kan tangkai buah pohon Sedaro Putih seperti dilakukan oleh angin. Lalu memukul tangkai buah itu dengan kayu kapung seperti yang terjadi ketika kayu kapung dihembus angin. Akhirnya, mereka memotong tangkai buah seperti dilakukan oleh tupai. Tabung bambu pun digantungkan disana.
Buah Sedaro Putih yang di kenal sebagai beluluk di tanah rejang

Ternyata, hasilnya sama dengan sadapan pertama. Perolehan mereka semakin hari semakin banyak karena beberapa tangkai buah yang tumbuh dari pohon Sedaro Putih sudah mendatangkan hasil.

Akan tetapi, timbul suatu masalah bagi mereka, karena air sadapan itu akan masam jika disimpan terlalu lama. Lalu, mereka sepakat untuk membuat suatu percobaan dengan memasak air sadapan itu sampai kental. Air yang mengental itu didinginkan sampai keras membeku dan berwarna kekuningan.

Semenjak itu, pohon Sedaro Putih dijadikan sumber air sadapan yang manis. Pohon itu kini dikenal sebagai pohon enau atau pohon aren. Air yang keluar dari tangkai buah dinamakan nira, sedangkan air nira yang dimasak sampai mengental dan membeku disebut gula merah.

*****

Keterangan :
Pohon enau atau pohon aren termasuk pohon yang banyak jasanya bagi manusia. Oleh karena itu, untuk memuliakannya banyak versi lain kisah legenda yang berkembang di nusantara tentang asal mula pohon enau ini, salah satunya Putri Sedaro Putih yang berasal dari cerita rakyat suku Rejang. Daerah kediaman suku Rejang saat ini mayoritas wilayahnya masuk propinsi Bengkulu meskipun beberapa daerahnya yang lain masuk Propinsi Sumatera Selatan, Lampung dan Jambi.

Manfaat pohon enau atau pohon aren antara lain sebagai berikut :
1. Buahnya (disebut beluluk atau kolang kaling) dapat dibuat manisan yang lezat atau campuran kolak.
2. Ijuk di buat sapu, tali untuk mengikat kerbau, keset kaki, atap dan kuas cat, dan dapat digunakan juga sebagai atap rumah.
3. Tulang daunnya dibuat sapu lidi dan se
nik (tempat meletakkan kuali atau periuk)Disadur dari :
  1. Arsip Blog Tanah Rejang : http://rejang-lebong.blogspot.com
  2. Cerita lisan Bapak M. Halimi Habib, lahir di Curup 28 Juli 1942, pernah menjadi guru SMPN 1 Curup (1968-1975)
  3. Cerita rakyat dari Bengkulu, Jakarta Grasindo 1993
  4. http://www.zonamobile.net/forums/index.php?action=viewtpc,6565&sid=AQk0IWRiXLY&page=87
  5. Credit photo oleh author Curup Kami dan Rejang Keme dari desa Sindang Jati dan desa Cawang Baru
free counters
Related Posts with Thumbnails