Posted by Erwin S Basrin
Jurukalang adalah salah satu Komunitas Geneologis yang berada di Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu, secara Administratif Jurukalang berada di Kecamatan Rimbo Pengadang dan Sebagian Kecamatan Lebong Selatan. Komunitas Jurukalang merupakan kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan yang patrilineal dan dengan cara perkawinan yang eksogami .
Jurukalang dalam bahasa Lokal di sebut Jekalang adalah salah satu komunitas adat tertua dalam sejarah suku Rejang (Jang), keterangan ini tidak hanya di dapat dari cerita secara turun temurun namun dari beberapa dokumen tentang pengakuan ini salah satunya pernyataan J. Walland tahun 1861 menyatakan bahwa telah terdapat Marga-Marga teritorial di wilayah ini dan diperkuat oleh J Marsden dalam “The History of Sumatera” 1783.
Sebagai kesatuan masyarakat hukum adat Jurukalang memiliki norma-norma yang kemudian di atur dalam sistem Adat Tiang Pat Lemo Magea Rajo , pada tataran aplikatif sering disebut dengan Adat Beak Nyoa Pinang atao Adat Neak Kutai Nated, dan sampai saat ini masih memegang teguh Adat Bersendi Syara’ dan bersendikan kitabullah .Dalam sejarah Jurukalang disebutkan bahwa sebelum ditetapkan kelembagaan Jurukalang (berasal dari kata Galang ), diwilayah ini sudah terdapat sistem pemerintahan yang di pimpin oleh Ajai, Ajai ini adalah gelar seseorang Pemimpin Komunitas yang diambil dari Kata Majai (dalam bahasan Sangsekerta berarti Pimpinan suatu Kumpulan manusia).
Sejarah tentang Jurukalang ini sendiri dimulai ketika peristiwa Penebangan Kayu Benuang Sakti, dimana ketika proses penebangan tersebut Komunitas Jurukalang kebagian tugas sebagai juru Galang, Kemudian komunitas ini di kenal dengan sebutan Jurukalang yang di pimpin oleh Bikau Bermano dan berkedudukan awalnya di Kutai Suko Negerai, dan kemudian pindah ke Desa Tapus, beberapa priode pemerintahan Adat Jurukalang di bawah Pimpinan Pesirah atau Depati ini tetap di Desa Tapus.
Sistem-sistem lokal di Jurukalang di Kenal Arif yang tidak hanya mengatur hubungan dengan sesama tetapi hubungan dengan Tuhan, Gaib dan Alam. Hubungan antar sesama biasanya adalah hubungan komunal antar Sukau (kesatuan clan/keluarga) yang biasanya di ketuai oleh Ketua Sukau atau Kutai yang dipilih oleh clan tersebut. Hubungan dengan Tuhan dalam sistem Rejang sering disebut dengan istilah So Samo Kamo Bamo (So artinya Satu), ada kepercayaan Esa terhadap Tuhan. Di Jurukalang sendiri masih mempercayai adanya kekuatan gaib diluar kemampuan manusia, penyebutan Diwo Duwate, keramat, wali, Diwo Pat Jemnang Kutai adalah aplikasi dan apresiasi terhadap jenis-jenis makluk gaib. Pada tataran implementasi ini melekat erat dalam sistem kelola wilayah adat, Kedurai Agung, Kedurai Madeak Turuak biasanya adalah jenis dialogis dengan makluk gaib di wilayah-wilayah tertentu.
Kedurai Mundang Miniak adalah sistem lokal ketika masyarakat akan turun kesawah, Temje Bubung sistem gotong royong untuk menegak rumah, Pantangan dalam mengelolan sumber daya alam diwilayah tertentu disebut dengan Tuwea Celako misalnya menebang pohon-pohon tertentu, "lahan yang ketika ditebang membentuk jembatan di atas sungai atau anak sungai biasanya akan menimbulkan musibah kepada orang yang mengelolan lahan tersebut" disebut oleh Bapak Salim tokoh adat Desa Tapus, biasanya ketika akan membuka lahan perkebunan ada ritual khusus seperti Kedurai, Mengeges, sampai sedelah bumi kami menyebutnya dengan bedu’o , ditambah Bapak Salim. Demikian juga dengan jenis-jenis kayu tertentu yang akan digunakan untuk rumah, di Jurukalang ada kretaria, Kayu Sialang biasanya apabila dipaksanakan digunakan akan menimbulkan bencana kematian bagi penunggu rumah karena kayu tersebut ada yang gemuyan (makluk gaib penunggu pohon dalam bahasa Lokal di sebut tunggau ) di sambung Bapak H. Tuhir (tokoh masyarakat Jurukalang Tapus).
"Mungkin inilah akibat banyaknya bencana yang terjadi saat ini karena kita melangar adat yang telah diturunkan oleh leluhur kita" di sambung oleh Bapak Salim, Ketika Panen jenis-jenis tertentupun di Jurukalang ada bagian khusus yang harus diberikan ke pada penguasa gaib, misalnya ketika Panen Ikan di Salah Satu Sungai maka ada bagian khusus yang harus diberikan kepada Puyang dan Ninik (penyebutan Harimau), "ini menunjukan bahwa dalam pemanfaatan sumber daya yang ada tidak boleh berlebihan" dijelaskan oleh Pak Salim, "dulu ketika ada kelembagaan adat Marga, pemanfaatan kayu itu hanya boleh untuk kebutuhan membangun rumah dan tidak boleh di jual, berburu hewan tertentu hanya boleh dilakukan pada masa tertentu" ditambah Pak Salim. Sampai saat ini sistem lokal dalam pemanfaatan sumber daya alam sebagian besar masih di taati namun sebagian besar banyak dilanggar,misalnya pengetahuan tentang batas wilayah adat di berikan secara lisan serta turun-temurun dan mengacu pada batas-batas alam tertentu (pacang balei-balei, kes tages) atau mantal map seperti sungai, mata air dan jenis kayu tertentu seperti pohon seluang abang dan pinang. Untuk areal pemukiman di tandai dengan adanya makam leluhur dan tanda alam lainnya (gais pigai) masih sangat dihormati. Namun beberapa hal dilakukan proses modefikasi seperti sistem pemerintahan masyarakat Jurukalang mengenal istilah begilia (bergiliran memimpin) yang berdasarkan falsafah bejenjang kenek betanggo tu’un dalam sistim pemerintahan desa. Pola ini bagian dari strategi untuk menyingkapi intervensi pemerintah melalui UU NO 5 Tahun 1979, pola begilia diganti dengan pemilu.
Akar Foundation
Tidak ada komentar:
Posting Komentar