Marga Bukan Administrasi Pemerintah Masyarakat Rejang
Category: | Books |
Genre: | History |
Author: | Naim Emel Prahana |
Mengenai istilah marga dalam masyarakat Rejang, sebenarnya bukan asli dari suku Rejang melainkan dibawa dan diterapkan oleh Asisten Residen Belanda di Keresidenan Palembang, J Waland. J Waland membawa konsep ke-marga-an itu dari Palembang ke Bengkulu tahun 1861. (mungkin untuk lebih pasnya silakan baca Adatrectbundel XXVII hal 484-6.)
Di dalam IGOB (Inlandsch Gemeente OrdonantieBuitengewesten) tahun 1928 Belanda secara resmi menerap system pemerintahan yang diberi nama Marga. Sedangkan pengaturan system pemerintah di Lampung baru diatur pada tahun 1929. seperti termuat dalam Staatblad 1929 N0 362. Waktu itu Lampung dijadikan satu Afdeling yang dipimpin seorang Residen.
Satu wilayah Afdeling terbagi dalam 5 (lima) onder afdeling masing-masing dikepalai oleh seorang kontolir yang dijabat oleh orang Belanda. Sedangkan system marga di Bengkulu—khususnya pada masyarakat Rejang diterapkan pada tahun 1861 yang dibawa oleh J Waland dari Palembang. Dengan demikian, penerapan pemerintah marga di Bengkulu lebih tua dari di Lampung.
Suku Rejang dikenal mudah penerima pendatang dalam pergaulan sehariu-hari. Namun, di balik penerimaan tersebut. Suku Rejang (Orang Rejang) sering melupakan identitas mereka, karena mudah percaya dengan pendatang. Sebagai satu dari 18 lingkaran suku bangsa terbesar di Indonesia, suku bangsa Rejang 100% menganut agama Islam. Mata pencaharian utama adalah dari sektor pertanian.
Marga atau Mego yang merupakan pola atau sistem administrasi pemerintahan di zaman Hindia Belanda. Bukan asli dari sukubangsa Rejang. Melainkan diimport dari Palembang oleh J Waland, tujuannya untuk kepentingan penjajahan pihak Belanda. Walau kemudian sistem marga itu sangat dikenal oleh masyarakat Rejang, tapi pada akhirnya sistem itu dihapus.
Definisi Marga
Marga adalah komunitas masyarakat yang mendiami beberapa dusun (sekarang, desa) yang merupakan pola atau system administrasi pemerintahan yang dikepalai oleh seorang Pasirah (pesirah, pen). Kalau di Lampung, Marga terdiri beberapa Mego dan sebaliknya demikian. Namun, di Lampung setelah system pemerintahan Marga dihapus dan diganti Negeri. Dan, di Bengkulu langsung masuk ke system tata pemerintahan Indonesia.
Marga juga bias diartikan sebagai nama nama keluarga dari turun temurun yang mengingatkan generasi berikutnya akan nenek moyang mereka. Itu, biasa digunakan di daerah Batak, orang China, Padang dan daerah lainnya. Artinya, marga itu dikaitkan dengan bagian nama sebagai pertanda dari keluarga mana seseorang itu berasal. Marga lazim ada di banyak kebudayaan di dunia.
Nama marga pada kebudayaan Barat dan kebudayaan-kebudayaan yang terpengaruh budaya Barat (yang lebih menonjolkan individu) umumnya terletak di belakang, oleh karena itu disebut pula nama belakang. Kebalikannya, budaya Tionghoa dan Asia Timur lainnya menaruh nama marga di depan karena yang ditonjolkan adalah keluarga, individu dinomorduakan setelah keluarga.
Ada pula kebudayaan-kebudayaan yang dulunya tidak menggunakan marga, misalnya suku Jawa di Indonesia, meski saat ini banyak yang sudah mengadopsi nama keluarga. Dalam sistematika biologis, marga digunakan bergantian untuk takson 'genus'. Dalam hal itu dapat kita lihat di Lampung yang mengenal marga-marga yang mulanya bersifat geneologis-territorial. Tapi, tahun 1928, pemerintah Belanda menetapkan perubahan marga-marga geneologi-teritorial menjadi marga-marga teritorial-genealogis, dengan penentuan batas-batas daerah masing-masing.
Setiap marga dipimpin oleh seorang kepala marga atas dasar pemilihan oleh dan dari punyimbang-punyimbang yang bersangkutan. Demikian pula, kepala-kepala kampung ditetapkan berdasarkan hasil pemilihan oleh dan dari para punyimbang.
Di seluruh keresidenan Lampung, terdapat marga-marga teritorial sebagai berikut:
No. Nama Marga Kecamatan sekarang Beradat Berbahasa(Dialek)
- 1. Melinting Labuhan Maringgai Peminggir Melinting A (api)
- 2. Jabung Jabung idem idem
- 3. Sekampung idem idem idem
- 4. Ratu Dataran Ratu Peminggir Darah Putih idem
- 5. Dataran idem idem idem
- 6. Pesisir Kalianda idem idem
- 7. Rajabasa idem idem idem
- 8. Ketibung Way Ketibung idem idem
- 9. Telukbetung Telukbetung Peminggir Teluk idem
- 10. Sabu Mananga Padangcermin idem idem
- 11. Ratai idem idem idem
- 12. Punduh idem idem idem
- 13. Pedada idem idem idem
- 14. Badak Cukuhbalak Peminggir Pemanggilan (Semaka) idem
- 15. Putih Doh idem idem idem
- 16. Limau Doh idem idem idem
- 17. Kelumbayan idem idem idem
- 18. Pertiwi idem idem idem
- 19. Limau Talangpadang idem idem
- 20. Gunungalip idem idem idem
- 21. Putih Kedondong idem idem
- 22. Beluguh Kotaagung idem idem
- 23. Benawang idem idem idem
- 24. Pematang Sawah idem idem idem
- 25. Ngarip Semuong Wonosobo idem idem
- 26. Buay Nunyai (Abung) Kotabumi Pepadun O (nyou)
- 27. Buay Unyi Gunungsugih idem idem
- 28. Buay Subing Terbanggi idem idem
- 29. Buay Nuban Sukadana idem idem
- 30. Buay Beliyuk Terbanggi idem idem
- 31. BuayNyerupa Gunungsugih idem idem
- 32. Selagai Abung Barat idem idem
- 33. Anak Tuha Padangratu idem idem
- 34. Sukadana Sukadana idem idem
- 35. Subing Labuan Labuan Maringgai idem idem
- 36. Unyi Way Seputih Seputihbanyak idem idem
- 37. Gedongwani Sukadana idem idem
- 38. Buay Bolan Udik Karta (Tulangbawang Udik) Pepadun (Megou-pak) idem
- 39. Buay Bolan Menggala idem idem
- 40. Buay Tegamoan Tulangbawang Tengah idem idem
- 41. Buay Aji Tulangbawang Tengah idem idem
- 42. Buay Umpu Tulangbawang Tengah idem idem
- 43. Buay Pemuka Bangsa Raja Negeri Besar Pepadun A (api)
- 44. Buay Pemuka Pangeran Ilir Pakuonratu idem idem
- 45. Buay Pemuka Pangeran Udik Pakuonratu idem idem
- 46. Buay Pemuka Pangeran Tuha Belambangan Umpu idem idem
- 47. Buay Bahuga Bahuga (Bumiagung) idem idem
- 48. Buay Semenguk Belambangan Umpu idem idem
- 49. Buay Baradatu Baradatu idem idem
- 50. Bungamayang Negararatu Pepadun (Sungkai) idem
- 51. Balau Kedaton idem idem
- 52. Merak-Batin Natar idem idem
- 53. Pugung Pagelaran idem idem
- 54. Pubian (Nuat) Padangratu idem idem
- 55. Tegineneng Tegineneng idem idem
- 56. Way Semah Gedongtataan idem idem
- 57. Rebang Pugung Talangpadang Semende Sumatera Selatan
- 58. Rebang Kasui Kasui idem idem
- 59. Rebang Seputih Tanjungraya idem idem
- 60. Way Tube Bahuga Ogan idem
- 61. Mesuji Wiralaga Pegagan idem
- 62. Buay Belunguh Belalau Peminggir (Belalau) A (api)
- 63. Buay Kenyangan Batubrak idem idem
- 64. Kembahang Batubrak idem idem
- 65. Sukau Sukau idem idem
- 66. Liwa
- Balik Bukit Liwa idem idem
- 67. Suoh Suoh idem idem
- 68. Way Sindi Karya Penggawa idem idem
- 69. La'ai Karya Penggawa idem idem
- 70. Bandar Karya Penggawa idem idem
- 71. Pedada Pesisir Tengah idem idem
- 72. Ulu Krui Pesisir Tengah idem idem
- 73. Pasar Krui Pesisir Tengah idem idem
- 74. Way Napal Pesisir Selatan idem idem
- 75. Tenumbang Pesisir Selatan idem idem
- 76. Ngambur Bengkunat idem idem
- 77. Ngaras Bengkunat idem idem
- 78. Bengkunat Bengkunat idem idem
- 79. Belimbing Bengkunat idem idem
- 80. Pugung Penengahan Pesisir Utara idem idem
- 81. Pugung Melaya Lemong idem idem
- 82. Pugung Tampak- Pesisir Utara idem idem
- 83. Pulau Pisang Pesisir Utara idem idem
- 84. Way Tenong Way Tenong Semendo Sumatera Selatan
Susunan marga-marga territorial yang berdasarkan keturunan kerabat tersebut, pada masa kekuasaan Jepang sampai masa kemerdekaan pada tahun 1952 dihapus dan dijadikan bentuk pemerintahan negeri. Sejak tahun 1970, nampak susunan negeri sebagai persiapan persiapan pemerintahan daerah tingkat III tidak lagi diaktifkan, sehingga sekarang kecamatan langsung mengurus pekon-pekon/kampung/desa sebagai bawahannya.
Dalam perkembangannya, suku bangsa Rejang atau Suku Rejang (boleh disebut dengan kata Orang Rejang) banyak melakukan reformasi pola pikir dari pola pikir agraris tradisional ke pola pikir pendidik formal. Masyarakat Rejang pada awalnya banyak mengirimkan putra-putrinya bersekolah ke daerah Sumatera Padang dengan tujuan Padang, Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh dan daerah lainnya.
Di samping itu banyak dari mereka bersekolah di Palembang, dan sangat sedikit melanjutkan pendidik ke Jawa. Kalaupun ada, jumlahnya sangat sedikit. Baru sekitar tahun 70-an kelanjutan sekolah orang-orang Rejang berkiblat ke Jawa, terutama Yogyakarta, Jakarta dan Bandung dan adapula yang menerobos ke Medan.
Akibat banyaknya putra-putri orang Rejang pergi merantau melanjutkan pendidikan di luar Bengkulu membawa konsekuensi logis terhadap pertambahan penduduk di Lebong, Rejang dan sekitarnya—di dalam wilayah provinsi Bengkulu. Pertambahan penduduknya lamban.
Dipelopori orang Rejang dari Kotadonok, Talangleak, Semelako dan Muara Aman yang banyak menjadi pejabat di luar daerah, jadi anggota TNI dan Polri. Akhirnya sekitar tahun 1980-an orang Rejang yang jadi anggota TNI dan Polri serta PNS semakin banyak dan bertebaran dari Aceh sampai Irian Jaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar