Sinatung Natak


Author: Naim Emel Prahana

Sinatung Natak adalah sebuah cerita rakyat yang memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat Lebong Selatan, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu, Indonesia. Cerita ini telah melahirkan sebuah aturan atau hukum yang hingga kini masih berlaku di kalangan masyarakat setempat. Aturan apakah yang dilahirkan oleh cerita ini? Dan, bagaimana aturan tersebut lahir? Temukan jawabannya dalam cerita Sinatung Natak berikut ini!

* * *

Alkisah, di sebuah negeri di daerah Bengkulu, ada seorang raja yang bernama Serik Seri Nato. Ia mempunyai seorang putri yang cantik jelita bernama Cerlik Cerilang. Berita tentang kecantikan sang Putri telah tersebar sampai ke berbagai negeri. Banyak pangeran dan pemuda yang penasaran ingin melihat kecantikannya dan bermaksud menyuntingnya.

Berita tentang kecantikan Putri Cerlik Cerilang juga sampai di dusun Kutei Donok (sekarang bernama Desa Kota Donok, Kecamatan Lebong Selatan). Di dusun ini, ada seorang Batara Guru bernama Guru Tuo yang memiliki tujuh orang putra. Batara Guru Tuo sangat pandai dan sakti. Putra bungsunya bernama Sinatung Natak yang punya penyakit panu di sekujur tubuhnya. Meski demikian, ia sangat dimanja oleh orangtuanya karena sifatnya yang suka menolong terhadap sesama.

Mendengar kabar kecantikan Putri Cerlik Cerilang, Sinatung Natak selalu termenung dan membayangkan kecantikan wajah sang Putri.

“Alangkah bahagianya aku jika mempunyai istri yang cantik. Tapi, mungkinkah sang Putri mau menikah denganku dengan kondisi tubuhku yang penuh dengan panu ini?” tanya Sinatung Natak dalam hati.

“Ah, aku tidak boleh menyerah sebelum mencoba,” tambahnya dengan penuh semangat.

Pada malam harinya, Sinatung Natak pun memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya itu kepada orangtuanya dalam sebuah pertemuan keluarga.

“Maaf, Ayah! Natak ingin menyampaikan sesuatu kepada Ayah,” ungkap Natak, mengawali pembicaraannya.

“Ada apa, Anakku?” tanya sang Ayah.

“Maafkan Natak jika apa yang Natak sampaikan nanti tidak berkenan di hati Ayah,” katanya lebih lanjut.

“Apa yang ingin kau sampaikan, Anakku? Katakanlah!” desak Ayahnya penasaran.

“Natak ingin pergi jauh, Ayah,” jawab Natak.

Keenam kakaknya dan anggota keluarga lainnya yang ada pada saat itu kaget mendengar perkataan Sinatung Natak. Mereka tahu bahwa Natak tidak pernah bepergian jauh selama hidupnya.

“Hendak pergi kemanakah engkau, Anakku?” tanya sang Ayah ingin tahu.

“Negeri Serik Seri Nato, Ayah,” jawab Natak singkat sambil menundukkan kepala.

“Apakah Adik ingin menemui Putri Cerlik Cerilang yang terkenal cantik itu?” tanya kakaknya yang sulung.

“Benar, Bang! Adik bermaksud meminangnya,” jawab Natak.

Mendengar jawaban Natak, Ayahnya terdiam sejenak. Beberapa saat kemudian, ia kembali bertanya kepadanya.

“Apa mungkin Putri Cerlik Cerilang akan menerima pinanganmu dengan kondisi tubuhmu yang penuh dengan panu itu, Anakku?”

“Tidak hanya itu, Anakku! Bukankah Negeri Serik Seri Nato itu sangat jauh dari sini?” tambah Ibunya.

“Iya, Natak menyadari akan semua hal itu. Tapi, Natak ingin sekali menemui putri itu, Bu!” jawab Natak dengan tekad bulat.

Oleh karena tekadnya begitu besar, akhirnya Batara Guru Tuo mengizinkan Natak pergi.

“Baiklah kalau itu keinginanmu, Anakku! Ayah merestui engkau menemui Putri Cerlik Cerilang. Tapi sebelum berangkat, Ayah akan menambah kesaktianmu untuk berjaga-jaga dari segala kemungkinan yang terjadi di sana,” ungkap Batara Guru Tuo.

Mendengar persetujuan Batara Guru Tuo, seluruh anggota keluarga lainnya pun ikut merestui kepergian Sinatung Natak. Setelah tiga hari tiga malam mendapat tambahan ilmu kesaktian dari ayahnya, berangkatlah Sinatung Natak menuju ke Negeri Serik Seri Nato untuk menemui Putri Cerlik Cerilang. Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu ia berjalan menuju ke arah matahari terbenam dengan menyusuri hutan belantara, menyeberangi sungai, naik dan turun gunung, dan melewati banyak dusun. Ia terkadang bermalam di tengah hutan seorang diri. Kepada setiap orang yang ditemuinya, ia selalu bertanya tentang di mana Negeri Serik Seri Nato, namun tak seorang pun yang mau memberi tahunya.

Pada suatu hari, ketika menyusuri sebuah hutan, Sinatung Natak bertemu dengan seorang Sebei (nenek) sedang berjalan menggunakan tongkat sambil membawa bronang[1]. Sebei itu baru saja pulang dari ladangnya. Sinatung Natak pun segera menghampirinya.

“Maaf, kalau saya mengganggu perjalanan Bei,” sapa Natak.

“Siapa kamu ini anak muda?” tanya Sebei itu.

“Natak, Bei!” jawab Natak.

“O ya, Bei! Kalau tidak keberatan, sudilah Sebei tunjukkan jalan menuju Serik Seri Nato,” pinta Natak kepada sebei itu.

“Apakah kamu bermaksud menemui Putri Cerik Cerilang yang cantik itu?” tanya sebei itu.

“Benar, Bei! Apakah Sebei mengenalnya?” Natak balik bertanya.

Mendengar pertanyaan Natak, Sebei itu hanya tersenyum sambil memandang Natak yang tampak penasaran.

“Iya. Sebei banyak tahu tentang sang Putri. Tapi, sebaiknya kamu mampir dulu digubukku. Nanti Sebei ceritakan semua,” ajak Sebei itu.

“Terima kasih, Bei!” jawab Natak

Akhirnya, keduanya pun berjalan menuju ke gubuk wanita tua itu. Natak membantu membawakan bronang sang Sebei.

Pada malam harinya, Sebei itu pun menceritakan semua hal tentang Putri Cerlik Cerilang kepada Natak.

“Ketahuilah, Natak! Putri Cerlik Cerilang itu sudah mempunyai tunangan. Namanya Sinatung Bakas. Ia sangat kejam. Siapa pun yang berani mendekati sang Putri pasti akan dibunuhnya,” cerita sang Sebei.

“Tapi, Bei! Natak ingin sekali melihat sang Putri dan meminangnya,” kata Natak bersikukuh ingin menemui sang Putri.

“Oh, jangan, Natak! Itu sangat berbahaya! Nanti kamu akan dibunuh oleh tunangan sang Putri. Ia mempunyai puluhan orang algojo berbadan besar,” cegah Sebei itu.

“Tenang, Bei! Natak bisa jaga diri,” ucap Natak.

Melihat tekad kuat Sinatung Natak tersebut, Sebei itu pun tidak mampu memberi alasan lagi untuk menghalanginya pergi.

Keesokan harinya, Sinatung Natak pun berpamitan kepada Sebei sambil menyalaminya. Sinatung Natak melanjutkan perjalanan menuju ke Negeri Serik Seri Nato dengan menyusuri jalan sesuai petunjuk yang diberikan oleh Sebei itu. Setelah berjalan selama sehari semalam, sampailah Natak di sebuah negeri yang ramai. Banyak bangunan yang berdiri megah dan bagus. Para penduduknya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ia pun menghampiri seorang pedagang yang sedang sibuk menjajakan barang dagangannya.

“Permisi, Tuan! Benarkah ini Negeri Serik Seri Nato?” tanya Sinatung Natak dengan sopan.

“Benar, anak muda! Kamu pasti akan menemui Putri Cerlik Cerilang,” jawab pedagang itu.

“Bagaimana Tuan bisa tahu?” tanya Natak dengan penuh keheranan.

“Setiap pemuda yang datang dari luar negeri ini pasti akan mencari sang Putri,” jawab pedagang itu.

Usai berkata begitu, pedagang itu menunjukkan istana tempat kediaman sang Putri kepada Sinatung Natak. Maka dengan semangatnya, Sinatung Natak segera menuju ke istana itu. Ketika sampai di istana, ia melihat seorang gadis cantik sedang duduk sendirian di sebuah bangku bundar di tengah taman. Ia yakin gadis itu adalah Putri Cerlik Cerilang. Jantungnya pun mulai berdebar kencang. Perlahan-lahan ia melangkah menghampiri sang gadis.

“Maaf, Putri! Benarkah Putri adalah Cerlik Cerilang,” tanya Sinatung Natak dengan gugup.

“Benar. Aku Cerlik Cerilang,” jawab sang Putri dengan sopan.

Setelah itu, Sinatung Natak pun memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangannya. Baru beberapa saat mereka berkenalan, keduanya pun sudah tampak akrab. Oleh karena keasyikan berbincang-bincang, keduanya tidak menyadari kalau ada seseorang yang sedang memerhatikan mereka. Rupanya, orang itu adalah mata-mata Sinatung Bakas yang sengaja ditugaskan untuk mengawasi setiap pemuda yang mendekati Putri Cerlik Cerilang. Melihat keadaan itu, ia pun segera melapor kepada Sinatung Bakas.

“Gawat, Tuan! Ada seorang pemuda yang tak dikenal sedang menemui sang Putri di taman istana,” lapor orang suruhan Bakas itu.

Mendengar laporan itu, Sinatung Bakas pun langsung naik pitam. Wajahnya tiba-tiba merah membara bagai terbakar api.

“Siapa pemuda itu, berani sekali ia mendekati calon istriku!” ucap Bakas dengan geram.

Bersama beberapa orang algojonya, Bakas langsung menuju ke taman istana tempat di mana Putri Cerlik Cerilang dan Sinatung Natak sedang asyik berbincang. Sesampainya di sana, tanpa berpikir panjang, ia langsung menusuk tubuh Sinatung Natak dari arah belakang dengan pedangnya. Sinatung Natak yang tidak mengetahui hal itu tidak dapat berbuat apa-apa. Maka, ia pun tewas seketika. Melihat kejadian itu, sang Putri segera berlari menuju ke istana untuk melapor kepada ayahandanya. Mulanya, sang Raja hendak menceritakan kejadian itu kepada warganya. Namun karena melihat Sinatung Bakas datang ke istana, akhirnya sang Raja pun membatalkan niatnya tersebut. Agar rahasianya tidak terbongkar, sang Raja pun memerintahkan pengawalnya untuk mengubur mayat Sinatung Natak di bawah bangku tempat sang Putri dan Sinatung Natak berbincang.

Sementara itu, di rumah Sinatung Natak, seluruh keluarganya sedang bermusyawarah guna mengambil tindakan terkait dengan kejadian yang menimpa Sinatung Natak. Mereka mengetahui kejadian itu berkat kepandaian dan kesaktian Batara Guru Tuo. Hasil musyawarah itu memutuskan, Batara Guru Tuo bersama keenam saudara Sinatung Natak berangkat menuju Negeri Serik Seri Nato. Setelah menempuh perjalanan cukup jauh dan melelahkan, akhirnya sampailah mereka di negeri itu. Mereka pun langsung menghadap Baginda Raja Negeri Serik Seri Nato.

“Ampun, Baginda Raja! Maafkan hamba jika kedatangan hamba bersama putra-putra hamba tidak berkenan di hati Baginda!” kata Batara Guru Tuo sambil memberi hormat.

“Hai, siapa kalian ini dan apa maksud kedatangan kalian kemari?” tanya Raja.

“Ampun, Baginda! Hamba adalah ayah Sinatung Natak. Kedatangan hamba kemari ingin mengambil putra hamba yang telah dibunuh oleh calon menantu, Baginda,” jawab Batara Guru Tuo.

Alangkah terkejutnya sang Raja mendengar jawaban itu. Dalam hatinya bertanya-tanya, pasti ada orang yang telah membocorkan rahasia mereka.

“Hei, Pak Tua! Kamu jangan mengada-ada! Bagaimana kamu tahu kalau calon menantukulah yang telah membunuh putramu?” tanya Raja penasaran.

“Ampun, Baginda Raja! Ayah kami adalah orang yang pandai dan sakti. Ia memiliki indra keenam dan mampu mengetahui hal-hal yang ghaib,” sahut putra sulung Batara Guru Tuo.

“Diam kau, anak muda!” bentak sang Raja.

“Ampun beribu ampun, Baginda! Jika Baginda tidak percaya, tanyalah ayah kami. Pasti beliau tau tempat di mana Sinatung Natak dibunuh!” tambah putra kedua Batara Guru Tuo.

Baginda Raja pun menanyakan hal itu kepada Batara Guru Tuo. Ternyata benar, Batara Guru Tuo mengetahui jika Sinatung Natak dikuburkan di bawah bangku di taman istana. Ia pun meminta izin kepada Baginda Raja untuk membongkar tempat itu.

“Ampun, Baginda! Izinkanlah hamba untuk membongkar tanah di bawah bangku itu!” pinta Batara Guru Tuo.

Baginda Raja semakin tidak bisa mengelak. Ia pun memenuhi permintaan tersebut. Keenam putra Batara Guru Tuo segera menggali tanah itu. Tidak berapa lama, mereka pun menemukan jasad Sinatung Natak yang sudah terbujur kaku. Namun, ada yang aneh pada jasad Sinatung Natak. Meskipun sudah berminggu-minggu di dalam tanah, tubuh dan kulitnya tidak berubah. Maka berkatalah Batara Guru Tuo:

“Rupo idak berubah, panau-panau masih ado,” (wajah belum berubah, panu masih ada).

Melihat kenyataan itu, Baginda Raja bersama beberapa pengawalnya hanya terdiam malu. Akhirnya, mereka mengaku telah berbuat salah dan meminta maaf kepada keluarga Batara Guru Tuo. Untuk menebus kesalahannya, Baginda Raja pun berjanji kepada Batara Guru Tuo.

“Apapun yang kamu minta, akan aku berikan.”

“Ampun, Baginda! Hamba tidak akan menuntut banyak, Baginda!” jawab Batara Guru Tuo.

“Katakanlah! Berapa banyak uang kamu minta?” tanya Baginda Raja.

“Ampun, Baginda! Hamba hanya menginginkan sejumlah uang sesuai dengan jumlah panu yang ada pada tubuh Natak,” jawab Batara Guru Ruo.

“Baiklah, kalau begitu. Permintaanmu aku kabulkan,” kata Baginda Raja.

Setelah dihitung, jumlah panu yang ada di tubuh Sinatung Natak berjumlah delapan puluh buah panu. Satu panu diganti dengan uang satu rial. Namun, pada saat perhitungan panu dilakukan terjadi suatu peristiwa gaib. Setiap panu yang sudah dihitung tiba-tiba hilang satu per satu dari tubuh Natak tanpa meninggalkan bekas sama sekali. Dan, ajaibnya lagi, ketika sampai pada hitungan kedelepan puluh, dengan izin Tuhan Yang Mahakuasa, tiba-tiba Sinatung Natak hidup kembali. Alangkah terkejutnya Baginda Raja menyaksikan peristiwa ajaib itu. Begitu pula Sinatung Natak, ia terkejut saat melihat panu yang memenuhi tubuhnya hilang semua.

* * *

Demikian cerita Sinatung Natak dari daerah Bengkulu, Indonesia. Hingga kini, oleh masyarakat setempat cerita di atas dijadikan sebagai pedoman dalam menetapkan aturan pada kasus pembunuhan. Hutang nyawa tidak harus diganti dengan nyawa, akan tetapi tergantung kepada permintaan keluarga korban pembunuhan.

Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik adalah keutamaan sifat tidak malu mengakui kesalahan. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Raja Serik Seri Nato yang mengakui kesalahannya dan segera meminta maaf kepada keluarga Batara Guru Tuo. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat ini sangatlah diutamakan untuk menghindari terjadinya perseteruan di antara sesama. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
wahai ananda kekasih ibu,
mengaku salah janganlah malu
memaafkan orang jangan menunggu
hati pemurah menjauhkan seteru

(Samsuni /sas/107/10-08)

[1] Bronang adalah semacam bakul bertali untuk membawa barang-barang.

Sumber:
Isi cerita diadaptasi dari Naim Emel Prahana. 1998. Cerita Rakyat dari Daerah Bengkulu 2. Jakarta: Grasindo.

Kredit to : MelayuOnline.com
rejang-lebong.blogspot.com





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

free counters
Related Posts with Thumbnails