Kertas Posisi AKAR Dalam Menyingkapi Kabupaten Konservasi di Kabupaten Lebong

Dasar Pemikiran

Pengetahuan tentang konservasi sangat kuat dipengaruhi oleh faham konservasi alam klasik (classic nature conservation). Faham ini menekankan solusi terhadap kawasan-kawasan yang dilindungi, dimana setiap orang dilarang masuk, guna melindungi species-species yang terancam punah.[1].

Kemudian Faham ini sejalan dengan faham ekofasis yang mengangap konservasi lingkungan juah lebih penting dari kehidupan rakyat, mereka mengangap bahwa tidak bisa dielakkan kalau rakyat harus dipindahkan dari daerah-daerah yang terancam rusak, apakah hutan-hutan tropis, kawasan lindung maupun zona-zona peresapan air.[2]

Blok pengetahuan konservasi seperti inilah yang mewarnai pengelolaan kawasan-kawasan konservasi. Taman Nasional misalnya dikelola dengan prinsip-prinsip perlindungan alam yang ketat tapi dalam waktu yang bersamaan tidak menaruh perhatian yang cukup terhadap masyarakat yang bermukim didalam atau disekitar kawasan tersebut. Akibatnya perlindungan alam seolah-olah merupakan tindakan yang berdiri sendiri dan harus dibenturkan dengan kepentingan masyarakat di sekitarnya.[3]

Konsep konservasi semacam ini mulai berkembangan di negara-negara Barat, dimulai ketika Yellow Stone ditetapkan sebagai tanam nasional tahun 1872 model ini dilakukan dengan pendekatan perlindungan alam yang ketat yang tidak memperkenalkan adanya kegiatan manusia baik untuk kebutuhan subsistem maupun untuk pemanfaatan sumber daya alam demi tujuan komersial. Kemudian konsep inilah yang mengilhami penetapan taman nasional di seluruh dunia, pada tahun 1968 International Union for Conservation of Natural Resources (IUCN) memberi batasan-batasan tentang Taman Nasional.Di Indonesia, Kebijakan Negara tentang Koservasi dapat dilacak sejak masa kolonial Belanda, tahun 1932 Pemerintahan Kolonial Belanda mengeluarkan ’Ordonansi Cagar Alam dan Suaka Marga Satwa’ (Natuurmonumnten en Wildreservatenordonnantie 1932), Stablad 1932, No 17, kemudian diganti dengan ’Ordonansi Perlindungan Alam’ 1941 (Wildreservatenordonnantie1941), sejak kemerdekaan ada banyak kebijakan yang dibuat secara langsung terkait dengan konservasi. Kawasan Konservasi di Indonesia hampir sepenuhnya merupakan kisah mengenai konplik. Pertama, konflik yang bersifit sektoral horizontal, yakni tarik-menarik antara kepentingan perlindungan kawasan konservasi dengan kepentingan pembangunan tertentu. Kedua, konflik yang bersifat vertikal, yakni ketegangan antara Pemerintah-yang mewakili otoritas pengelola kawasan konservasi-dengan masyarakat yang tingal di sekitarnya. Baik masyarakat yang memiliki sejarah panjang maupun yang punya sejarah pendek tinggal di sekitar kawasan itu.Kalau diperhatikan secara seksama, maka konflik-konflik itu bersumber dari klaim yang bertentangan di atas subject yang sama (Bundle of Right). Dengan dalil hutan negara, sebuah istilah yang mengundang perdebatan, pemerintah menunjukan sebuah kawasan hutan sebagai kawasan konservasi atau hutan lindung. Penunjukan itu kemudian diikuti dengan berbagai larangan kepada siapapun untuk melakukan kegiatan pertanian, perburuan atau mengumpulkan hasil hutan. Sebaliknya, masyarakat yang tinggal disekitar atau ditengah-tengah kawasan mengangap larangan pemerintah tidak dapat diterima dengan dalil apapun. Mereka berargumen bahwa jauh sebelum munculnya larangan-larangan, mereka sudah lebih dulu tinggal disitu dan melakukan berbagai aktivitas ekonomi serta mengakui kepemilikan atas sebagian wilayah baik individu maupun kolektif (common property right) sebagian wilayah yang lain dianggap sebagai wilayah tak bertuan (open access), persoalan seperti ini muncul ketika tidak adanya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat setempat, masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam lain yang diakui secara tradisional, sehingga negara dapat menetapkan secara sepihak.[4]

Propil Konservasi di Kabupaten Lebong

Kabupaten Lebong adalah Kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Rejang Lebong berdasarkan UU No 39 Tahun 2003, Kabupaten ini terletak di posisi 105º-108º Bujur Timur dan 02º,65’-03º,60’ Lintang Selatan dan memiliki Luas Kabupaten 192.424 Ha dari total luas ini seluas 134.834,55 Ha adalah Kawasan Konservasi dengan peruntukan untuk Kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat 111.035,00 Ha, Hutan Lindung 20.777,40 Ha dan Cagar Alam 3.022,15 Ha.Dari total luas kawasan hutan tersebut diperkirakan laju kerusakan mencapai 50.999,82 Ha (40%) yang mengancam kelestarian lingkungan, bencana alam maupun berkurangnya pasokan untuk kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tes. Sebagian besar laju kerusakan ini diakibatkan oleh aktivitas ekonomi maupun aktivitas illegal logging.Sementara disatu sisi laju kerusakan kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat di Propinsi Bengkulu sangat tinggi. Di awal tahun 2005, dari 340.575 Ha kawasan yang masuk dalam wilayah administrasi Propinsi Bengkulu 36,27 % (123.534,58 ha) telah rusak parah (kondisi non-hutan).

Teridentifikasi beberapa kelemahan dalam pengelolaan, yang selanjutnya menimbulkan permasalahan-permasalahan dan kerusakan di dalam kawasan Taman Nasional, seperti perambahan hutan, penebangan liar, penyerobotan hutan, perburuan liar, dan penambangan emas. Kelemahan-kelemahan tersebut meliputi: 1) Bentuk (form) bentang alam kawasan TNKS yang memanjang (narrow elongated shape), keadaan kawasan dengan garis dan daerah batas yang panjang dan luas membuka kemungkinan dan kesempatan yang luas bagi terjadinya tekanan dan gangguan dari luar kawasan ke pusat-pusat hutan yang merupakan zona inti. 2) Terjadi gangguan dan tekanan dari masyarakat sekitar kawasan yang didorong oleh kondisi sosial, ekonomi, dan budaya mereka, terlebih pada kondisi krisis saat ini. 3) Adanya aktivitas pertambangan di dalam kawasan TNKS. 4) Kerusakan hutan lindung dan hutan produksi yang merupakan daerah penyangga perluasan habitat dan sosial dari Taman Nasional. 5) Masih lemahnya koordinasi dengan pihak dan instansi terkait, terutama di tingkat daerah yang mendorong terjadinya benturan kebijaksanaan. 6) Pemekaran kabupaten, terutama kabupaten yang memiliki sumberdaya alam terbatas menjadi ancaman dan potensi dilakukannya eksploitasi TNKS.7) Belum dilibatkannya secara langsung masyarakat dalam proses pengelolaan kawasan.Dari hasil workshop yang dilakukan oleh Akar Foundation yang didukung oleh Russell E, Train Education for Nature pada 14-16 November 2006 di Muara Aman Lebong, Persoalan dalam pengelolaan kawasan konservasi baik di TNKS maupun kawasan lindung di wilayah Lebong, tantangannya sangat besar yang disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :

1. Kabupaten Lebong baru terbentuk pada tahun 2003, dengan fasilitas infra struktur pendukung roda pemerintahan sangat minim termasuk jumlah pegawai yang bertugas sangat jauh dari ideal, sehingga kebijakan pembangunan berprioritas pada bangunan infra struktur.

2. Koordinasi dan komunikasi yang terbangun antara pihak Pengelola Kawasan (Balai TNKS, DISHUTBUN, BKSDA) wilayah Bengkulu selama ini sangat kurang.

3. Komunikasi antar penggiat (Balai TNKS, Pemerintah Daerah, Dinas Kehutanan, LSM Nasional dan Internasional, Perguruan Tinggi, Masyarakat) sangat kurang bahkan tidak ada sehingga masing-masing berjalan sendiri-sendiri.

4. Belum tersosialisasikannya informasi tentang tujuan, fungsi, manfaat dan tata batas Kawasan Konservasi dan Lindung (TNKS, HL dan Cagar Alam) kepada masyarakat-masyarakat sekitar kawasan secara baik dan menyeluruh.

5. Belum jelasnya pedoman bagi penegakan hukum di Taman Nasional, sehingga banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi tidak terselesaikan.6. Masyarakat sekitar Kawasan Konservasi dan Lindung (TNKS, HL dan Cagar Alam) belum dilibatkan dalam pengelolaan (pengawasan, pengamanan dan pemanfaatan) kawasan.

Propil Singkat Struktur Sosial Masyarakat di Kabupaten Lebong

Kondisi dan permasalahan yang di hadapi masyarakat adat atau lokal di berbagai pelosok Nusantara memiliki kesamaan yang mendasar, sebagai kelompok minoritas yaitu pengalam hidup tertindas, diekploitasi dan disingkirkan dalam waktu yang begitu panjang oleh kelompok-kelompok atau kekuatan lain yang dominan dan mayoritas, kondisi minoritas ini bukan semata-mata karena kondisi populasi yang kecil tetapi lebih banyak bersumber dari kondisi kelompok yang memiliki ideology, system social budaya dan system politik yang khas dan bersipat local specific baik yang dibangun atas kesamaan wilayah hidup berbasisi territorial maupun atas kesamaan leluhur atau perpaduan kedua-duannya.[5]

Di wilayah Kabupaten Lebong masyarakat dan struktur sosialnya secara umum dapat di definisikan sebagai kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang berdasarkan pada kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan yang patrilinial dan perkawinan yang eksogami, sekalipun mereka terpencar dimana-mana. Sistem eksogami ini merupakan syarat mutlah timbulnya Petulai/clan /Marga sedangkan sistem kekeluargaan yang patrilineal sangat mempengaruhi sistem kemasyarakatan dan akhirnya mempengaruhi bentuk kesatuan dan kekuasaan dalam masyarakat.[6]

Klaim sebagai komunitas adat ini dapat dibuktikan dengan sejarah turun temurun atau beberapa dokumen catatan, antara lain:

1. John Marsden, Residen Inggris di Lais (1775-1779), memberikan keterangan tentang adanya empat Petulai Rejang, yaitu Joorcalang (Jurukalang), Beremanni (Bermani), Selopo (selupu) dan Toobye (Tubay).[7]

2. J.L.M Swaab, Kontrolir Belanda di Lais (1910-1915) mengatakan bahwa jika Lebong di angap sebagai tempat asal usul bangsa Rejang, maka Merigi harus berasal dari Lebong. Karena orang-orang merigi memang berasal dari wilayah Lebong, karena orang-orang Merigi di wilayah Rejang (Marga Merigi di Rejang) sebagai penghuni berasal dari Lebong, juga adanya larangan menari antara Bujang dan Gadis di waktu Kejai karena mereka berasal dari satu keturunan yaitu Petulai Tubei.[8]

3. Dr. J.W Van Royen dalam laporannya mengenai “Adat-Federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang” pada pasal bengsa Rejang mengatakan bahwa sebagai kesatuan Rejang yang paling murni, dimana marga-marga dapat dikatakan didiami hanya oleh orang-orang dari satu Bango dan harus diakui yaitu Rejang Lebong.[9]

Secara tradisional, masyarakat adat tersebut terbentuk dalam komunitas yang berwilayah berdasarkan kekerabatan (territory rialized kinship-based communities), Sistem kesatuan kekeluargaan ini sampai saat ini masih dipegang teguh ditingkat komunitas-komunitas adat yang kemudian di sederhanakan dalam bentuk kelembagaan lokal dengan penyebutan Kutai.Pada beberapa komunitas sistem adat masih di gunakan hanya sebatas aktivitas seremonial seperti perkawinan, kematian dan pada acara-acara sedekah bumi di Lebong Kedurai, Mulang Apei, Penyelesaian Sengeta di tingkat Kampung meskipun pada tataran kebijakan dan implementatif masih sarat muatan politis, pada tataran praktis hanya menyelesaikan perkara Batas Tanah dan perkara adat yang specipik yang hanya menyelesaikan perkara normatif (Calo).[10]

Sebagai besar masyarakat adat atau komunitas-komunitas adat di Kabupaten Lebong mengantungkan hidupnya pada sektor pertanian dengan sistem perkebunan rakyat yang sangat tergantung dengan kesuburan tanah atau lahan yang subur dengan pola tradisional (Gilir Balik), hal ini yang menyebabkan banyaknya konplik klaim atas kepemilikan lahan atau tanah terutama antara lahan masyarakat dengan beberapa kawasan konservasi dan peruntukan lainnya. Atas intervensi UU No 7 Tahun 1979 tenteng Pemerintahan Desa beberapa komunitas adat melakukan beberapa strategi untuk menyingkapi intervensi tersebut di antaranya sistem bergilir dalam memimpin diganti dengan pemilu, umumnya masyarakat adat di Bengkulu juga menganut istilah adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah sehingga beberapa tata aturan adat yang di anggap melanggar aturan agama mulai di tinggalkan. Namun tetap saja beberapa kebijakan di kampung adat tetap di dahulukan baru kemudian norma prosesi agama dilaksanakan.Umumnya masyarakat adat membagi keruangan wilayah adatnya menjadi beberapa bagian, seperti untuk kawasan pemukiman, perkebunan, hulu air, hutan dll. Batas-batas wilayah ini diberikan secara turun-temurun dan mengacu pada batas-batas alam tertentu atau Metal Map seperti Sungai, Mata Air, Jenis Kayu tertentu, untuk areal pemukiman ditandai dengan adanya makam leluhur dan tanda alam lainnya.

Rekomendasi

1. Pemerintahan Kabupaten Lebong perlu memberikan penjelasan secara akademik mengenai perlunya isu-isu pengelolaan kawasan konservasi dan lingkungan kepada masyarakat luas yang diatur secara khusus di dalam peraturan daerah yang dibuat secara partisifatif dengan melibatkan masyarakat yang secara langsung bersentuhan dengan kawasan konservasi, yang berasaskan:· Asas Kelestarian dan Keberlanjutan· Asas Pengakuan dan Kepemilikan Masyarakat Adat· Asas Keadilan dan Demokrasi· Asas Transparansi, Partisipasi dan Akuntabilitas Publik· Asas Holistik· Asas Kehati-hatian dini· Asas Eko-Efisiensi· Asas Perlindungan Optimal dan Keanekaragaman Hayati· Asas Pluralisme Hukum

2. Secara konprehensif dan integralistik melakukan penataan antara kepentingan masyarakat adat/lokal, dunia usaha dan pemerintah dalam pemanfaatan, akses dan kontrol terhadap kawasan konservasi termasuk penyelesaian kontroversi tata batas kawasan.

3. Sistem pengelolaan dan managemen kawasan konservasi di Kabupaten Lebong harus berdasarkan nilai-nilai lokal (local wisdom) yang masih berkembangan dan dihormati oleh masyarakat adat sekaligus sangsi atas pelangarannya yang di akui dalam bentuk kebijakan daerah

4. Mendorong Pemerintah Daerah dan para pihak terkait di Kabupaten Lebong untuk lebih memperhatikan peningkatan kesejahteraan masyarakat di desa-desa tertinggal sebagai basis bagi pembangunan kabupaten Konservasi dengan cara membangun model-model percepatan pembangunan desa tertinggal

5. Diperlukan kampanye multimedia sistematik yang diperuntukkan bagi para pihak untuk mempengaruhi paradigma pembangunan yang tidak berpihak pada rakyat tersebut.

[1] Gray, 1999:56

[2] Dietz, 1998:22

[3] Laporan Proses Village Meeting yang di fasilitasi oleh AKAR Foundation di Desa Tapus, Tanjung Bajak dan Talang Donok Kecamatan Rimbo Pengadang.

[4] Resume Laporan Workshop AKAR Foundation-Komnas HAM, Sawit Watch, HuMA, AMA Bengkulu “Bundle of Right dalam Perspektif HAM, Rejang Lebong, 2007

[5] Satu yang kami tuntut : Pengakuan, AMAN,WAC,FPP 2003

[6] Abdullah Siddik, Balai Pustaka 1977

[7] W.Marsden, The History of Sumatera 1775-1779

[8] De ondersfdeeling Redjang der Resident TAG XXXIII 1916

[9] De Palembangsche Marga enz, Leiden, 1927

[10] Rekomendasi dan Laporan Kegiatan AMA Bengkulu 2006

source http://akarfoundation.wordpress.com/2007/11/23/kertas-posisi-akar-dalam-menyingkapi-kabupaten-konservasi-di-kabupaten-lebong/







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

free counters
Related Posts with Thumbnails